Wikipedia

Search results

Monday, October 18, 2010

Pemancing Cilik

Pada tepian sebuah sungai, tampak seorang anak kecil sedang bermain-main. Sesekali tangannya dicelupkan ke dalam aliran air sungai yang sejuk. Si anak terlihat sangat menikmati permainannya.

Selain asyik bermain, si anak juga sering memerhatikan seorang paman tua yang hampir setiap hari datang ke sungai untuk memancing. Setiap kali bermain di sungai, setiap kali pula ia selalu melihat sang paman asyik mengulurkan pancingnya. Kadang, tangkapannya hanya sedikit.

Tetapi, tidak jarang juga ikan yang didapat banyak jumlahnya.

Suatu sore, saat sang paman bersiap-siap hendak pulang dengan ikan hasil tangkapan yang hampir memenuhi keranjangnya, si anak mencoba mendekat. Ia menyapa sang paman sambil tersenyum senang. Melihat si anak mendekatinya, sang paman menyapa duluan. "Hai Nak, kamu mau ikan? Pilih saja sesukamu dan ambillah beberapa ekor. Bawa pulang dan minta ibumu untuk memasaknya sebagai lauk makan malam nanti," kata si paman ramah.

"Tidak, terima kasih, Paman," jawab si anak.

"Lo, paman perhatikan, kamu hampir setiap hari bermain di sini sambil melihat paman memancing. Sekarang ada ikan yang paman tawarkan kepadamu, kenapa engkau tolak?"

"Saya senang memerhatikan Paman memancing, karena saya ingin bisa memancing seperti Paman. Apakah Paman mau mengajari saya bagaimana caranya memancing?" tanya si anak penuh harap.

"Wah wah wah. Ternyata kamu anak yang pintar. Dengan belajar memancing engkau bisa mendapatkan ikan sebanyak yang kamu mau di sungai ini. Baiklah. Karena kamu tidak mau ikannya, paman beri kamu alat pancing ini. Besok kita mulai pelajaran memancingnya, ya?"
Keesokan harinya, si bocah dengan bersemangat kembali ke tepi sungai untuk belajar memancing bersama sang paman. Mereka memasang umpan, melempar tali kail ke sungai, menunggu dengan sabar, dan hup... kail pun tenggelam ke sungai dengan umpan yang menarik ikan-ikan untuk memakannya. Sesaat, umpan terlihat bergoyang-goyang didekati kerumunan ikan. Saat itulah, ketika ada ikan yang memakan umpan, sang paman dan anak tadi segera bergegas menarik tongkat kail dengan ikan hasil tangkapan berada diujungnya.

Begitu seterusnya. Setiap kali berhasil menarik ikan, mereka kemudian melemparkan kembali kail yang telah diberi umpan. Memasangnya kembali, melemparkan ke sungai, menunggu dimakan ikan, melepaskan mata kail dari mulut ikan, hingga sore hari tiba.

Ketika menjelang pulang, si anak yang menikmati hari memancingnya bersama sang paman bertanya, "Paman, belajar memancing ikan hanya begini saja atau masih ada jurus yang lain?"

Mendengar pertanyaan tersebut, sang paman tersenyum bijak. "Benar anakku, kegiatan memancing ya hanya begini saja. Yang perlu kamu latih adalah kesabaran dan ketekunan menjalaninya. Kemudian fokus pada tujuan dan konsentrasilah pada apa yang sedang kamu kerjakan. Belajar memancing sama dengan belajar di kehidupan ini, setiap hari mengulang hal yang sama. Tetapi tentunya yang diulang harus hal-hal yang baik. Sabar, tekun, fokus pada tujuan dan konsentrasi pada apa yang sedang kamu kerjakan, maka apa yang menjadi tujuanmu bisa tercapai."

Friday, October 08, 2010

Wisdom :


"Uang belum pernah dan tak akan pernah membuat manusia bahagia. Makin banyak orang punya uang, makin banyak lagi yang dia inginkan. Uang membuat orang terus-menerus mengisi sesuatu yang kosong.

Benjamin Franklin (1706–1790), ilmuwan, filsuf, dan penemu asal AS.


Monday, October 04, 2010

Jangan Pernah Tergesa

Suatu ketika, ada sebuah roda yang kehilangan salah satu jari-jarinya. Ia tampak sedih. Tanpa jari-jari yang lengkap ia tak bisa lagi berjalan dengan lancar. Hal ini terjadi saat ia melaju terlalu kencang ketika melintasi hutan. Karena terburu-buru, ia melupakan, ada satu jari-jari yang jatuh dan terlepas. Kini sang roda pun bingung. Ke mana ia harus mencari bagian dari tubuhnya itu.

Sang roda pun berbalik arah. Ia kembali menyusuri jejak-jejak yang pernah dia tinggalkan. Perlahan, dia tapaki jalan-jalan itu. Satu demi satu di perhatikannya dengan seksama. Setiap benda dia amati, dan dia cermati, berharap, akan di temukannya jari-jari yang hilang itu.

Ditemuinya kembali rerumputan dan ilalang. Dihampirinya kembali bunga-bunga di tengah padang. Dikunjunginya kembali semut dan serangga kecil di jalanan. Dan dilewatinya lagi semua batu-batu dan kerikil-kerikil pualam. Hei, kenapa kini semuanya tampak lain. Ya, sewaktu sang roda melintasi jalan itu dengan laju yang kencang, semua hal tadi cuma berbentuk titik-titik kecil. Semuanya tampak biasa, dan tak istimewa. Namun kini, semuanya jadi lebih indah.

Rerumputan dan ilalang menyapanya dengan ramah. Mereka kini tak lagi hanya berupa batang-batang yang kaku. Mereka tersenyum, melambai tenang, bergoyang dan menyampaikan salam.

Ujung-ujung rumput itu, bergesek dengan lembut di sisi sang roda, menimbulkan suara yang ritmik, kesiuran sahdu ditimpuki angin. Sang roda pun tersenyum dan melanjutkan pencariannya.

Bunga-bunga pun tampak lebih indah. Harum dan semerbak, lebih terasa menyegarkan. Kuntum-kuntum yang baru terbuka, menampilkan wajah yang cerah. Kelopak-kelopak yang tumbuh, menari, seakan bersorak pada sang roda. Sang roda tertegun dan berhenti sebentar. Sang bunga pun merunduk, memberikan salam hormat.

Dengan perlahan, dilanjutkannya kembali perjalanannya. Kini, semut dan serangga kecil itu mulai berbaris, dan memberikan salam yang paling semarak. Kaki-kaki mereka bertepuk, membunyikan keriangan yang meriah. Sayap-sayap itu bergetar, seakan ada ribuan genderang yang ditabuh. Mereka saling menyapa. Dan, serangga itu pun memberikan salam dan doa pada sang Roda.

Begitu pula batu dan kerikil pualam. Kilau yang hadir, tampak berbeda jika di lihat dari mata yang tergesa-gesa. Mereka lebih indah, dan setiap sisi batu itu memancarkan kemilau yang teduh. Tak ada lagi sisi dan ujung yang tajam dari batu yang kerap mampir di tubuh sang Roda.

Semua batu dan pualam, membuka jalan, memberikan kesempatan untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah lama berjalan, akhirnya, ditemukannya jari-jari yang hilang. Sang roda pun senang. Dan ia berjanji, tak akan tergesa-gesa dan berjalan terlalu kencang dalam melakukan tugasnya.

Begitulah hidup. Kita seringkali berlaku seperti roda-roda yang berjalan terlalu kencang. Kita sering melupakan ada saat-saat indah yang terlewat di setiap kesempatan. Ada banyak hal-hal kecil, yang sebetulnya menyenangkan, namun kita lewatkan karena terburu-buru dan tergesa-gesa.

Hati kita, kadang terlalu penuh dengan target, yang membuat kita hidup dalam kebimbangan dan ketergesaan. Langkah-langkah kita, kadang selalu dalam keadaan panik, dan lupa bahwa di sekitar kita banyak sekali hikmah yang perlu ditekuni.

Seperti saat roda yang terlupa pada rumput, ilalang, semut dan pualam, kita pun sebenarnya sedang terlupa pada hal-hal itu. Coba, susuri kembali jalan-jalan kita. Cermati, amati, dan perhatikan setiap hal yang pernah kita lewati. Runut kembali perjalanan kita. Kenanglah ingatan-ingatan lalu.

Susuri dengan perlahan.

Temukan keindahan itu!

Cacing, Burung dan Manusia

Saat mengalami kesulitan hidup, entah akibat himpitan kebutuhan materi atau masalah lainnya, kita kadang cepat sekali berputus asa. Malah, ada yang sampai berpikiran untuk mengakhiri hidupnya karena tak kuat menanggung beban. Apakah hidup sudah demikian beratnya, sampai kita layak berputus asa? Cobalah lihat kehidupan di sekeliling kita. Banyak yang lebih menderita. Tengok pula kehidupan burung dan cacing. Dari mereka, kita bisa belajar tentang kehidupan.

Burung senantiasa berkicau riang saat matahari belum keluar dari ufuk timur. Setiap pagi, burung-burung selalu bersemangat keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Mereka tidak pernah membayangkan akan ke mana untuk mencari makanan. Mereka terbang begitu saja.

Namun mereka jarang pulang dalam keadaan lapar. Saat sore menjelang, mereka pulang ke sarang dengan perut menggembung kenyang, sambil tak lupa memberi oleh-oleh makanan untuk keluarganya. Kalaupun hari itu mereka tak menemukan makanan, mereka tak pernah mengeluh.

Meskipun burung lebih sering mengalami kekurangan makanan karena tidak punya 'pekerjaan tetap', apalagi saat musim kemarau, saat banyak sawah kekeringan, tanaman padi menjadi puso, namun kita tidak pernah mendengar ada cerita burung yang berusaha untuk bunuh diri.

Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menukik membenturkan kepalanya ke batu cadas, karena keputusasaannya. Tak pernah pula kita mendengar ada burung yang tiba-tiba menenggelamkan diri ke sungai karena kalut menghadapi kesulitan hidup. Mustahil pula kita dengar, cerita burung yang memilih meminum racun untuk mengakhiri penderitaannya.

Yang kita lihat adalah burung tetap optimis akan makanan yang dijanjikan Sang Pencipta.

Coba perhatikan, walaupun kelaparan, tiap pagi burung tetap berkicau dengan merdu.

Tampaknya burung menyadari benar bahwa demikianlah hidup, suatu waktu berada di atas, dan di lain waktu terhempas ke bawah. Suatu waktu kelebihan dan di lain waktu kekurangan.

Suatu waktu kekenyangan dan di lain waktu kelaparan.

Selain burung, kita juga bisa mengambil pelajaran dari hewan yang jauh lebih lemah, cacing. Kalau kita perhatikan, binatang ini seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak untuk dapat bertahan hidup. Cacing tidak mempunyai kaki, tangan, bahkan tidak memiliki mata dan telinga.

Dengan keadaan fisiknya yang serbaterbatas, cacing tetap memilki perut yang harus diisi.
Cacing, dengan segala keterbatasannya, tidak pernah putus asa dan merasa frustrasi. Belum pernah kita menyaksikan cacing yang membentur-benturkan kepalanya ke batu karena keputusasaannya dalam menghadapi kesulitan hidup.

Kita, sebagai manusia, yang telah dikaruniai akal oleh Sang Pencipta, seharusnya kita bisa lebih unggul daripada makhluk lainnya. Bila dibandingkan dengan burung atau cacing, sarana yang dimiliki manusia untuk mencari nafkah jauh lebih canggih.

Tetapi pada kenyataannya, manusia yang dibekali banyak kelebihan ini seringkali kalah dari burung atau cacing. Manusia kerap berputus asa.

Manusia ditakdirkan untuk hidup dengan penuh risiko. Tidak ada sebuah pintu sukses pun yang dapat dilalui tanpa terlebih dahulu menaklukkan risiko yang menghadang. Risiko tidak hanya menawarkan ancaman dan bahaya, tapi juga menawarkan peluang dan harapan yang lebih baik di hari esok. Manusia harus melakukan evaluasi semua risiko berdasarkan kadar bahayanya, agar ditemukan solusi terbaik.

Ketakutan yang berlebihan terhadap ancaman dan bahaya hanya akan membuat Anda mati dalam rasa takut. Manusia adalah sebuah energi yang hanya berkembang menjadi lebih baik jika diancam oleh berbagai jenis risiko. Tanpa ancaman dari berbagai risiko hidup, manusia tidak lebih hanya seonggok daging hidup yang berkeliaran di permukaan bumi sambil merumput di padang liar.

Resiko adalah tantangan menuju sukses, sebuah realitas yang tidak dapat diingkari. Tanpa adanya ancaman dari berbagai macam risiko dalam hidup manusia, maka gairah hidup akan gersang, dan tidak akan ada gerak ke arah yang lebih tinggi.

Setiap kemenangan hidup hanya didapatkan setelah mampu memenangkan pertempuran melawan segala risiko dengan inisiatif, keberanian, semangat, dan penuh perhitungan dalam sebuah tindakan yang tepat waktu dan tepat sasaran.

Jadi, tidak ada alasan untuk putus asa, bukan?

Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan

Ada seorang ibu yang memiliki sepasang putra-putri. Ia selalu mengisi hidupnya hanya dengan kesedihan. Putra tertua bekerja sebagai penjual es krim keliling, sementara putri kedua adalah penjual payung. Ketika hari panas, sang ibu menangis untuk putrinya karena teramat sedikit yang beli payung. Saat hari hujan, sang ibu menangis untuk putranya karena jarang sekali orang membeli es krim.

Cerita ini hanya pengandaian tentang teramat banyaknya hidup yang diwarnai kesedihan. Ada saja alasan yang membuat kehidupan tergelincir ke dalam kesedihan. Dari bencana, penyakit, umur tua, hingga kematian. Sehingga jadilah kesedihan semacam hulu dari sungai kehidupan yang penuh stres, keluhan, penyakit, dan konflik.

Kegembiraan-kesedihan

Seorang sahabat psikiater pernah bercerita, tidak sedikit rumah sakit jiwa yang mulai kekurangan tempat. Sejumlah rumah sakit jiwa bahkan memulangkan pasien yang belum sepenuhnya sembuh, semata-mata karena ada pasien parah yang lebih membutuhkan.
Kebanyakan orang membenci kesedihan. Dalai Lama kerap mengatakan, "ada yang sama di antara kita, tidak mau penderitaan, mau kebahagiaan". Dan ini tentu amat manusiawi. Sedikit manusia yang berani mengatakan, jika mau menangis janganlah menangis di depan kematian.

Menangislah di depan kelahiran. Sebab semua kelahiran membawa serta penyakit, umur tua, lalu kematian.

Dengan kata lain, kelahiran sekaligus kehidupan tak bisa menghindar dari kesedihan. Kesedihan selalu mengikuti langkah kelahiran. Seberapa kuat manusia berusaha, seberapa perkasa manusia membentengi diri, kesedihan tetap datang dan datang lagi.

Seperti ayunan bandul, semakin keras dan semakin bernafsu seseorang dengan kebahagiaan, semakin keras pula kesedihan menggoda. Ini yang bisa menjelaskan mengapa sejumlah penikmat kebahagiaan secara berlebihan, lalu digoda kesedihan juga berlebihan. Ini juga yang ada di balik data WHO jika Amerika Serikat (sebagai salah satu tempat terbesar di mana kebahagiaan demikian dikejar dan dicari), menjadi konsumen pil tidur per kapita tertinggi di dunia.

Ada peneliti membandingkan dua negara yang sama-sama mayoritas beragama Buddha, yaitu Jepang dan Burma. Dari segi materi, Jepang merupakan sebuah keajaiban dan keunikan. Dibanding Jepang, Burma secara materi jauh dari layak. Namun dalam fenomena sosial seperti bunuh diri, perceraian, dan depresi, Jepang jauh lebih tinggi dari Burma. Seperti berbisik meyakinkan, di mana kebahagiaan materi berlimpah, di sana kesedihan juga berlimpah.

Seperti sadar realita pendulum seperti itu, banyak pertapa, penekun meditasi, yogi, sahabat sufi, dan lainnya, mengizinkan pendulum emosi hanya bergerak dalam ruang terbatas. Saat kebahagiaan datang, disadari kalau kebahagiaan akan diganti kesedihan. Sehingga nafsu perayaan berlebihan agak direm. Konsekuensinya, saat kesedihan berkunjung, ia tidak seberapa menggoda.

Merasa berkecukupan

Kahlil Gibran dalam The Prophet memberi kata-kata indah, saat kita bercengkerama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan menunggu di tempat tidur. Dalam pengertian lebih sederhana, manusia serumah dengan kebahagiaan dan kesedihan. Bagaimana bisa lari jauh atau lama dari kesedihan yang notabene serumah dengan kita?

Karena itu, sejumlah guru mengajarkan untuk melampaui kebahagiaan-kesedihan. Dalam bahasa guru jenis ini, kebahagiaan dan kesedihan hanya permainan bagi jiwa-jiwa yang sedang tumbuh menjadi dewasa. Pertumbuhan itulah yang memerlukan gerakan kebahagiaan, kesedihan, kebahagiaan, kesedihan, dan seterusnya.

Namun bagi setiap jiwa yang sudah mulai dewasa, ia akan sadar, kalau baik kebahagiaan maupun kesedihan memiliki sifat yang sama, tak pasti dan silih berganti. Bukankah bergantung pada sesuatu yang tak pasti akan membuat hidup tidak pasti? Lebih dari itu, baik kebahagiaan dan kesedihan berakar pada hal yang sama, keinginan. Bila keinginan terpenuhi, kebahagiaan datang berkunjung. Saat keinginan tidak terpenuhi, kesedihan yang menjadi tamu.

Dan setiap pejalan kaki ke dalam diri yang jauh tahu, keinginan adalah ibu penderitaan.
Kesadaran seperti inilah yang membimbing sejumlah orang untuk memasuki wilayah-wilayah keheningan.

Berbeda dengan kebahagiaan yang lapar akan ini, lapar akan itu; membandingkan dengan ini dengan itu; ingin lebih dari ini, lebih dari itu. Keheningan sudah berkecukupan. Seperti burung terbang di udara, ikan berenang di air, serigala berlari di hutan, matahari bersinar siang hari, bintang bercahaya di malam hari. Semua sempurna. Tidak ada yang layak ditambahkan atau dikurangkan. Penambahan atau pengurangan mungkin bisa membahagiakan. Tetapi, dalam kebahagiaan, batin tidak sepenuhnya tenang-seimbang, selalu ada ketakutan digantikan kesedihan.

Dalam kamus orang-orang yang sudah memasuki keheningan, sekaya apa pun Anda akan tetap miskin tanpa rasa berkecukupan. Semiskin apa pun Anda, akan tetap kaya kalau hidup berkecukupan. Maka seorang guru yang telah tercerahkan pernah berucap, "Enlightenment is like the reflection of the moon in the water. The moon doesn’t get wet, the water is not separated". Pencerahan seperti bayangan bulan di air. Bulannya tidak basah karena air. Airnya tidak terpecah karena bulan. Dengan kata lain, inti pencerahan adalah tidak tersentuh. Tidak marah saat dimaki, tidak sombong tatkala dipuji. Tidak melekat pada kebahagiaan, tidak menolak kesedihan. Persis seperti bunga padma, di air tidak basah, di lumpur tidak kotor.

Dan salah satu akar menentukan dari ketidaktersentuhan ini adalah keberhasilan mendidik diri untuk merasa berkecukupan. Yang tersisa setelah ini hanya empat "M", mengalir, mengalir, mengalir, dan mengalir.

Jangan Ragu Ucapkan Cinta

Bila Anda mencintai seseorang, pastikan dia tahu...

POHON
Orang-orang memanggilku "Pohon" karena Aku sangat baik dalam menggambar pohon. Aku selalu menggunakan gambar pohon pada sisi kanan sebagai trademark pada semua lukisanku. Aku telah berpacaran sebanyak 5 kali, tapi hanya ada satu wanita yang benar-benar sangat kucintai.

Dia tidak cantik, tidak memiliki tubuh seksi. Tapi, dia sangat peduli dengan orang lain, religius. Gayanya yang sederhana dan apa adanya, kemandiriannya, kepandaiannya, dan kekuatannya. Aku menyukainya, sangat!

Satu-satunya alasanku tidak mengajaknya kencan karena, aku merasa dia sangat biasa dan tidak serasi untukku. Aku takut, jika kami bersama, semua perasaan yang indah ini akan hilang. Aku takut kalau gosip-gosip yang ada akan menyakitinya. Karena itu, aku memilihnya untuk hanya menjadi "sahabat".

Menjadi sahabatnya, aku akan bisa 'memiliki'nya tiada batasnya. Tidak harus memberikan semuanya hanya untuk dia.

Selama tiga tahun terakhir, dia selalu menemaniku dalam berbagai kesempatan, sebagai sahabat. Dia tahu aku mengejar gadis-gadis lain. Ketika dia melihatku mencium pacarku yang ke-2, dia hanya tersenyum dengan berwajah merah. "Lanjutkan saja," katanya, setelah itu pergi meninggalkan kami.

Esoknya, matanya bengkak dan merah.

Aku sengaja tidak mau memikirkan apa yang menyebabkannya menangis. Aku pun berusaha membuatnya tertawa dengan mengajaknya bercanda sepanjang hari.

Kali lainnya, di sebuah sudut ruang dia menangis. Hampir 1 jam kulihat dia menangis. Aku paham betul apa penyebabnya. Pacarku yang ke-4 tidak menyukainya. Mereka berdua perang dingin. Aku tahu bukan sifatnya untuk memulai perang dingin, tapi Aku masih tetap bersama pacarku. Aku berteriak padanya dan matanya penuh dengan air mata sedih dan kaget. Aku tidak memikirkan perasaannya dan pergi meninggalkannya bersama pacarku.

Esoknya dia masih bisa tertawa dan bercanda denganku seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Aku tahu dia sangat sedih dan kecewa tapi dia tidak tahu bahwa sakit hatiku sama buruknya dengan dia. Aku juga sedih.

Ketika aku putus dengan pacarku yang kelima, aku mengajaknya pergi. Setelah kencan satu hari itu, aku mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya. Dia mengatakan bahwa kebetulan sekali bahwa dia juga ingin mengatakan sesuatu padaku..

Aku bercerita bahwa aku telah memutuskan hubungan dengan pacarku. Sementara, dia berkata bahwa dia sedang memulai suatu hubungan dengan seseorang.

Aku tahu pria itu. Dia sering mengejarnya selama ini. Pria yang baik, penuh energi dan menarik.
Aku tak bisa memperlihatkan betapa sakit hatiku. Aku hanya tersenyum dan mengucapkan selamat padanya. Ketika sampai di rumah, sakit hatiku bertambah kuat, dan aku tidak dapat menahannya. Seperti ada batu yang sangat berat di dadaku. Aku tak bisa bernapas dan ingin berteriak. Dan, aku menangis!

Handphoneku bergetar, ada SMS masuk. "DAUN terbang karena ANGIN bertiup atau karena POHON tidak memintanya untuk tinggal?"

DAUN

Aku suka mengoleksi daun-daun, karena aku merasa bahwa daun membutuhkan banyak kekuatan untuk bisa meninggalkan pohon yang selama ini ditinggali.

Selama tiga tahun aku dekat dengan seorang pria, bukan sebagai pacar tapi "sahabat". Ketika dia mempunyai pacar untuk yang pertama kalinya, aku mempelajari sebuah perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya: cemburu.

Mereka hanya bersama selama 2 bulan. Ketika mereka putus, aku menyembunyikan perasaan yang luar biasa gembiranya. Aku menyukainya dan aku juga tahu bahwa dia juga menyukaiku, tapi mengapa dia tidak pernah mengatakannya?

Jika dia mencintaiku, mengapa dia tidak memulainya dahulu untuk melangkah?

Ketika dia punya pacar baru lagi, hatiku sedih. Waktu terus berjalan, hatiku semakin sedih dan kecewa. Aku mulai mengira bahwa ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi, mengapa dia memperlakukanku lebih dari sekadar seorang teman?

Menyukai seseorang sangat menyusahkan hati. Aku tahu kesukaannya, kebiasaannya, tapi perasaannya kepadaku tidak pernah bisa kupahami. Kadang aku merasa bodoh, karena aku juga berkeras tidak mau mengungkapkan perasaanku. Selain alasan itu, aku mau tetap di sampingnya, memberinya perhatian, menemani, dan mencintainya. Berharap suatu hari nanti dia akan datang dan mencintaiku..

Aku selalu menunggu telponnya setiap malam, dan mengharapkan SMS darinya. Aku tahu, sesibuk apapun dia, pasti meluangkan waktunya untukku. Karena itu aku selalu menunggunya.
Tiga tahun berlalu, dan aku mulai merasa lelah.

Akhir tahun ketiga, seorang pria mengejarku. Setiap hari dia mengejarku tanpa lelah. Segala daya upaya telah dilakukan walau seringkali ada penolakan dariku. Aku mulai berpikir, mungkinkah aku bisa memberikan sebuah ruang kecil di hatiku untuknya?

Dia seperti angin yang hangat dan lembut, mencoba meniup daun untuk terbang dari pohon. Aku tahu Angin akan membawa pergi Daun yang lusuh jauh dan ke tempat yang lebih baik.
Meski berat, akhirnya aku meninggalkan Pohon. Tapi Pohon hanya tersenyum dan tidak memintaku untuk tinggal. Aku sangat sedih memandangnya tersenyum ke arahku.

"DAUN terbang karena ANGIN bertiup atau karena POHON tidak memintanya untuk tinggal?"

ANGIN

Aku menyukai seorang gadis bernama Daun. Tapi, dia sangat bergantung pada Pohon, sehingga aku harus menjadi 'Angin' yang kuat agar bisa meniupnya hingga terbang jauh dari pohon.

Aku selalu memperhatikan Daun duduk sendirian atau bersama teman-temannya, memerhatikan Pohon. Ketika Pohon berbicara dengan gadis-gadis, ada cemburu di matanya.
Ketika Pohon melihat ke arah Daun, ada senyum di matanya.

Memperhatikannya menjadi kebiasaanku, seperti Daun yang suka melihat Pohon. Satu hari saja tak kulihat dia, aku merasa sangat kehilangan.

Di sudut ruang, kulihat Pohon sedang memperhatikan Daun. Air mengalir di mata Daun ketika Pohon pergi.

Esoknya, kulihat Daun di tempatnya yang biasa, sedang memperhatikan Pohon. Aku melangkah dan tersenyum padanya. Kuambil secarik kertas, kutulisi dan kuberikan padanya. Dia sangat kaget. Dia melihat ke arahku, tersenyum dan menerima kertas dariku.

Esoknya, dia datang menghampiriku dan memberikan kembali kertas itu. Hati Daun sangat kuat dan Angin tidak bisa meniupnya pergi. Daun tidak mau meninggalkan Pohon.

Bertahun berlalu, aku kembali menghampirinya dengan kata-kata yang sama. Meski sangat pelan, akhirnya dia mulai membuka dirinya dan menerima kehadiranku. Aku tahu orang yang dia cintai bukan aku, tapi aku akan berusaha agar suatu hari dia menyukaiku.

Selama empat bulan, aku telah mengucapkan kata Cinta tidak kurang dari 20 kali kepadanya. Hampir setiap kali dia mengalihkan pembicaraan, tapi aku tidak menyerah. Keputusanku bulat, aku ingin memilikinya.

Suatu hari, dia bilang bahwa dia memberikan kesempatan untukku.
"Ah?" Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Aku menengadahkan kepalaku dan berusaha memastikan perkatannya. Dia berteriak dan mengatakannya kembali.
Kuletakkan telpon, melompat, berlari seribu langkah ke rumahnya. Dia membuka pintu bagiku. Kupeluk erat-erat tubuhnya.

"DAUN terbang karena tiupan ANGIN atau karena POHON tidak memintanya untuk tinggal?"

Monday, August 30, 2010

Jangan Durhaka pada Anak

Seorang teman pernah bercerita soal anak dan tanggung jawab. Suatu hari dia menyeberang jalan, di sebuah jalanan di Spanyol. Seperti biasa, sebagai orang Indonesia, ia menyeberang tanpa melalui zebra-cross.

Saat itu memang tak ada mobil, sepi, juga tak ada polisi, kecuali seorang ibu dengan anaknya yang masih balita. Begitu ia sampai ke seberang jalan, terdengar teriakan si ibu dari seberang jalan yang baru saja ia tinggalkan. "Hei, hei, ke Sini!"

Mendengar seorang ibu yang berteriak sambil melambaikan tangan, lagi-lagi sebagai orang Indonesia, teman ini langsung kembali menyeberang. Pasti ada apa-apa dengan ibu ini, ia butuh pertolongan. Sesampainya di dekat ibu itu, ia dibentak, "Hai, kenapa kamu menyeberang bukan dari zebra-cross? Tahukah kamu, kelakuanmu itu sudah mengajari anak saya
melanggar peraturan, kamu sudah menanamkan dalam memorinya bahwa melanggar peraturan itu sesuatu yang biasa-biasa saja!"

Cerita ini mengagetkan teman saya, juga saya. Soal orang Indonesia melanggar peraturan bukanlah hal yang mengejutkan. Namun argumen ibu itu yang mengaitkan pelanggaran dengan masa depan anaknya itulah yang lebih mengejutkan. Begitu pentingnya masa depan anak-anak bagi ibu itu, begitu pentingnya ibu itu menjaga memori dan kesadaran anaknya agar tetap terjaga dalam perbuatan baik. Bagaimana dengan kita?

Pertengahan bulan Juli ini, saya memiliki cerita yang lain tentang orang tua dan anaknya. Kali ini dari tetangga-tetangga saya yang mau menyekolahkan anaknya di SMP. Konon, sang anak adalah juara umum di sekolahnya dan dapat mengikuti test masuk SMP dengan mudah. "Mudah-mudahan anak saya bisa masuk pilihan pertamanya!" harap sang bapak.
Tanggal 11 malam, sang bapak bertemu lagi dengan wajah yang muram, lebih tepatnya penuh kekecewaan, "Anak saya gagal, semula nilainya 80, saya sudah mengeceknya lewat SMS. Eh...kemarin nilainya jadi 67. Saya protes, dan guru-guru di SMP itu minta maaf atas kekhilafannya. Lalu, mereka menawarkan jalan belakang, biasa dengan bayar sekian rupiah!"
Tetangga saya menolak untuk membayar, ia biarkan anaknya ke sekolah swasta saja.
"Saya tak mau anak saya belajar di sekolah pembohong!" Menurut sahibul gosip, melorotnya nilai anak tetangga saya itu karena ada beberapa anak lain yang nilainya rendah dikatrol dengan cara membayar sekian rupiah. Tentu saja yang membayarnya adalah orang tua, dan yang menerimanya adalah guru yang terhormat.

Marilah kita bandingkan sikap dan tanggung jawab kita pada anak-anak. Keputusan untuk membayar sejumlah rupiah demi sang anak tentu didasari pilihan untuk memberikan kasih sayang yang terbaik buat sang anak, namun pada saat yang bersamaan kita telah menanamkan racun pada kesadaran anak-anak itu. Racun itu adalah: 1) uang bisa menyelesaikan segalanya; 2) tak usah berprestasi, biasa-biasa saja, nanti juga uang bisa menambalnya.

Barangkali dari peristiwa kecil inilah korupsi membudaya. Tanpa sadar kita melakukannya setiap hari, dan repotnya lagi kita melakukan itu di depan anak-anak kita. Anak-anak yang masih polos itu pastilah telah mencatat di relung kesadarannya dan menjadikannya falsafah hidup sepanjang hayat. Terlebih lagi, peristiwa ini dialami sang anak di lembaga pendidikan yang semua aspeknya merupakan nilai mulia yang harus ditiru dan diteladani.
Marilah kita bercermin lagi pada cerita yang lain. Cerita kali ini datang dari salah seorang cucu Mahatma Ghandi. Ia dan anaknya pergi ke suatu tempat. Karena acara sang ayah agak lama, sang anak diizinkan untuk membawa mobil itu bagi keperluannya sendiri. "Syaratnya, jam sekian kamu harus berada di sini, menjemput Bapak!" ujar sang ayah.

Pada jam yang ditentukan sang anak belum kembali, menit demi menit sang anak belum juga kembali. Sang ayah menunggu sampai beberapa jam. Lalu, sang anak datang dan mengajukan permohonan maafnya. "Baiklah kalau begitu," ujar sang ayah, "naikilah mobil itu, bawalah pulang. Bapak akan jalan kaki ke rumah!" Sang anak protes dan merasa bersalah.
Namun sang Ayah tetap saja jalan kaki sambil berpesan, "Mengingkari janji adalah kesalahan terbesar dalam hidup ini, kamu sudah melakukannya padaku. Semua itu pastilah bukan kesalahanmu, itu semua karena saya salah mengajarimu, Nak. Karena itu biarlah ayah menghukum diri, menghukum kesalahan pendidikanku padamu!" Sejak saat itu, sang anak tak pernah lagi mengingkari janji.

Seluruh kisah-kisah ini adalah bahan refleksi kita. Benarkah kita serius merawat anak kita yang sering kita sebut sebagai amanah (titipan) dari Allah?
Betapa mulia kata-kata "amanah (titipan) Allah". Pada istilah ini terlihat relasi antara Allah dan kita yang sedemikian akrab, Allah percaya pada kita karena itu Dia menitipkan sesuatu yang berharga. Lazimnya titipan, ia harus tetap seperti nilai awalnya. Nilai awal sang anak adalah fitrah, dan harus tetap fitrah.

Fitrahnya adonan untuk dicetak, fitrahnya perhiasan untuk membuat bangga pemakainya, fitrahnya sang anak tentu bukan untuk "dicetak" agar "membuat bangga" orang tuanya. Sang anak adalah sebutir benih yang begitu rapuh, butuh tanah yang baik dan pemeliharaan yang sesuai takaran. Kecenderungan benih adalah terus mencari cahaya, tetapi putik
kecil bisa saja ditipu --diberi cahaya palsu-- dan memercayainya seumur hidup.

Bisakah kita menjadi tanah, yang menerima amanat secara jujur? Tanah tak pernah menumbuhkan semangka bila ia mendapatkan titipan benih padi. Benih padi yang ditanam, tumbuhan padi pula yang tumbuh. Bisakah kita menerima benih fitrah "anak kita" dan mengembangkannya menjadi fitrah yang lebih baik? Sebuah hadis menyatakan bahwa setelah kematian menerpa kita, tak ada yang bisa menolong dari siksa kubur kecuali doa dari kesalehan sang anak. Tentu saja, maksud hadis ini bila sang anak, "titipan Allah" itu, telah kita jaga dan tumbuh tetap berada dalam fitrahnya, maka kita akan mendapatkan hadiah dari Tuhan karena telah menjaga amanahnya dengan baik.

Pada hari ini, ada baiknya kita menyempatkan diri untuk mengelus dan mengecup lembut kening mereka. Kita layak meminta maaf karena selama ini telah memberikan ruang hidup yang sumpek, penuh keluhan dan pertengkaran, serta tidak memberikan jaminan-moral. Kita pun layak memohon ampunan pada Allah karena titipan-Nya belum dirawat secara baik. Tersenyumlah, anak-anak menunggu ketulusan kita!

Monday, August 02, 2010

Pasir-pasir Keikhlasan

Dua orang pengembara sedang melakukan perjalanan.Mereka tengah melintasi padang pasir yang sangat luas.Sepanjang mata memandang hanya ada pasir membentang.

Jejak–jejak kaki mereka meliuk –liuk di belakang membentuk kurva yang berujung di setiap langkah yang mereka tapaki. Debu-debu pasir yang beterbangan memaksa mereka berjalan merunduk. Tiba–tiba badai datang. Angin besar menerjang mereka. Hembusannya membuat tubuh dua pengembara itu limbung. Pasir beterbangan di sekeliling mereka. Pakaian mereka mengelepak ,menambah berat langkah mereka yang terbenam di pasir. Mereka saling menjaga dengan tangan berpegangan erat. Mereka mencoba melawan ganasnya badai.

Badai reda, tapi musibah lain menimpa mereka. Kantong bekal air minum mereka terbuka saat badai tadi. Isinya tercecer. Entah gundukan pasir mana yang meneguknya. Kedua pengembara itu duduk tercenung, menyesali kehilangan itu.” Ah…, tamatlah riwayat kita,” kata pengembara pertama. Lalu ia menulis di pasir dengan ujung jarinya. “Kami sedih. Kami kehilangan bekal minuman kami di tempat ini.”

Kawannya, si pengembara dua pun tampak bingung. Namun mencoba tabah. Membereskan perlengkapannya dan mengajak kawannya melanjutkn perjalanan. Setelah lama menyusuri padang pasir ,mereka melihat ada oase di kejauhan. ” Kita selamat,” seru salah seorang di antara mereka. ”Lihat,ada air di sana.”

Dengan sisa tenaga yang ada, mereka berlari ke oase itu. Untung, bukan fatamorgana. Benar-benar sebuah kolam. Meski kecil tapi airnya cukup banyak. Keduanya pun segera minum sepuas puasnya dan mengisi kantong air.

Sambil beristirahat, pengembara pertama mengeluarkan pisau genggamnya dan memahat di atas sebuah batu. “Kami bahagia. Kami dapat melanjutkan perjalanan karena menemukan tempat ini.”

Pengembara kedua heran. ”Mengapa kini engkau menulis di atas batu, sementara tadi kau menulis di pasir ?”

Yang di tanya tersenyum. ”Saat kita mendapat kesusahan, tulislah semua itu di atas pasir.

Biarkan angin keikhlasan membawanya jauh dari ingatan. Biarkan catatan itu hilang bersama menyebarnya pasir ketulusan. Biarkan semuanya lenyap dan pupus,” jawabnya dengan bahasa cukup puitis. ”Namun, ingatlah saat kita mendapat kebahagiaan. Pahatlah kemuliaan itu di batu agar tetap terkenang dan membuat kita bahagia .Torehlah kenangan kesenangan itu di kerasnya batu agar tak ada yang dapat menghapusnya. Biarkan catatan kebahagiaan itu tetap ada. Biarkan semuanya tersimpan.”

Keduanya bersitatap dalam senyum mengembang. Bekal air minum telah di dapat, istirahatpun telah cukup, kini saatnya untuk melanjutkan perjalanannya. Kedua pengembara itu melangkah dengan ringan seringan angin yang bertiup mengiringi.

Teman, kesedihan dan kebahagiaan selalu hadir. Berseling-seling mewarnai panjangnya hidup ini. Keduanya mengguratkan memori di hamparan pikiran dan hati kita. Namun, adakah kita besikap seperti pengembara tadi yang mampu menuliskan setiap kesedihan di pasir agar angin keikhlasan membawanya pergi? Adakah kita ini sosok tegar yang mampu melepaskan setiap kesusahan bersama terbang nya angin ketulusan?

Teman, cobalah untuk selalu mengingat setiap kebaikan dan kebahagiaan yang kita miliki. Simpanlah semua itu di dalam kekokohan hati kita agar tak ada yang mampu menghapusnya. Torehkan kenangan bahagia itu agar tak ada angin kesedihan yang mampu melenyapkannya. Insya Allah, dengan begitu kita akan selalu optimistis dalam mengarungi panjangnya hidup ini.

Keikhlasan dalam Kekuasaan

Orang bijak pernah berkata bahwa sejatinya kebenaran itu bukan untuk dipelajari, melainkan harus ditemukan. Lalu, di mana kita dapat mencari kebenaran?

"Kebenaran dapat ditemukan di dalam diri kita saat diam," ujar sang bijak. Sebab, dalam diam, kita bisa berbicara dengan hati. Hati merupakan teleskop jiwa, sedangkan mata adalah teleskop dari hati.

Kadang kala kita sering mempertunjukkan kekerdilan diri karena tidak mau diam. Mulut kita terus-menerus berbicara, padahal kita sendiri saja tidak yakin apakah pembicaraan itu benar-benar cerminan keinginan hati. Mulut kita sudah berbuih-buih karena begitu getolnya berbicara, namun isinya hanya bohong belaka.

Sesungguhnya, diam adalah perisai orang bodoh dan pelindung bagi orang bijak. Orang bodoh tidak perlu membuktikan kebodohannya bila dia diam. Dengan berdiam diri serta belajar sabar, persoalan yang begitu pelik akan lebih mudah terpecahkan.

Coba kita simak kisah Nasrudin saat sibuk mencari jarum yang hilang di halaman rumahnya. Berjam-jam dia mencari jarum yang hilang itu sehingga mengundang perhatian seluruh tetangganya. Akhirnya mereka ikut sibuk membantu Nasrudin, tetapi jarum yang dicari tidak ditemukan juga. Seolah olah lenyap ditelan bumi.

Namun, ada salah seorang tetangga yang diam saja sejak tadi. Ia hanya memperhatikan tingkah rekan-rekannya. Lalu ia mendekati Nasrudin dan bertanya, "di mana jarum itu terjatuh?" Nasrudin menjawab, "di dalam rumah."

Ia terkejut. Jarum yang hilang di dalam rumah, kenapa dicari di halaman rumah?

"Ya, kalau saya mencarinya di dalam rumah tidak akan ketemu karena gelap gulita, jadi saya mencarinya di halaman rumah karena terang oleh cahaya matahari."

Kalau kita membaca kisah Nasrudin, kita akan menemukan bahwa seringkali logika Nasrudin terbolak-balik. Namun, sesungguhnya, ada makna lain yang tersirat di dalam cerita. Dari analogi cerita di atas misalnya, bisa diartikan banyak makna. Salah satunya, bahwa sebenarnya kehidupan itu intinya ada di hati. Jika hati 'gelap', sulit menemukan kebenaran. Jadi, kita perlu 'cahaya'. Hanya karena tak memahaminya, maka kita berada dalam kegelapan.

Sebenarnya, setiap gerak, isyarat, bentuk, suara, perkataan, ekspresi, suasana, semuanya menjadi ekspresi sifat dan karakter seseorang. Tanpa harus berbicara saat memandang mata lawan bicara, kita bisa mengartikan apakah dia benar benar ridha atau tidak, menolak atau menyetujui, cinta atau benci, bohong atau jujur. Bahkan, kearifan dan kebodohan semua menjelma melalui mata.

Melalui pandangan mata, kita akan tahu bahwa persahabatan itu demi kepentingan profesional, ataukah demi pamrih. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam kehidupan ini pasti ada pamrih, baik kepada orangtua, anak, istri, mertua, maupun tetangga. Yang membedakan hanyalah kadar kepamrihannya.

Kita sering tak peduli pada tangis orang lain. Banyak orang kaya dan punya kedudukan tinggi, tapi hidupnya selalu dipenuhi kekecewaan. Ia sering sedih tanpa tahu penyebabnya. Mereka sangat merindukan perasaan yang penuh bahagia. Ada pepatah mengatakan, "Semakin kencang mengejar kebahagiaan, membuat kita semakin tidak bahagia karena ternyata sangat sulit menemukan kebahagiaan itu."

Semua itu terjadi karena kita kurang merenung diri dan introspeksi. Hati kita menjadi beku dan tidak lagi peka mendengar suara dan keluhan orang lain. Bila kita tak mampu mendengar suara hati sendiri, bagaimana bisa memahami orang lain? Maka, yang sering muncul kemudian adalah kita menyalahkan orang lain, menyikut, mempermalukan, membodohi, dan menipu orang lain. Kita menjadi manusia yang sangat licik, munafik, naif dan selalu merasa paling benar.

Kesabaran Seorang Resepsionis

Beberapa bulan yang lalu di meja pemesanan kamar hotel, saya melihat suatu kejadian yang sangat mengesankan: betapa sulitnya menjadi resepsionis.

Saat itu sekitar pukul lima sore, petugas resepsionis hotel sibuk mendaftar tamu-tamu baru. Orang di depan saya memberikan namanya kepada pegawai di belakang meja dengan nada memerintah. Laki-laki berwajah sumringah itu pun berkata, "Baik, Bapak, kami sediakan satu kamar singleuntuk Anda.”

Single?” bentak orang itu, “saya memesan double!

Pegawai hotel tersebut berkata dengan sopan, “coba saya periksa sebentar.” Ia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip dan berkata, “Maaf, Bapak, telegram Anda menyebutkan single. Saya akan senang sekali menempatkan Anda di kamar double kalau memang ada. Tetapi semua kamar double sudah penuh.”

Tamu yang berang itu berkata, “Saya tidak peduli apa bunyi kertas itu, saya mau kamar double!

Kemudian ia mulai bersikap 'kamu-tahu-siapa-saya', diikuti dengan “saya akan usahakan agar kamu dipecat. Kamu lihat nanti. Saya akan buat kamu dipecat.”

Di bawah serangan gencar, pegawai muda tersebut menyela, “kami menyesal sekali tidak bisa memenuhi permintaan Bapak, tetapi kami bertindak berdasarkan instruksi Anda.”

Akhirnya, sang tamu yang terbakar amarah itu berkata, “saya tidak akan mau tinggal di kamar yang terbagus di hotel ini sekarang. Manajemennya benar-benar buruk!” Dan ia pun keluar.

Saya menghampiri meja penerimaan sambil berpikir si pegawai pasti masih memasang wajah masam setelah baru saja dimarahi habis-habisan. Sebaliknya, ia menyambut saya dengan salam yang ramah sekali “Selamat malam, Bapak.”

Ketika ia mengerjakan tugas rutin yang biasa dalam mengatur kamar untuk saya, saya berkata kepadanya, “saya mengagumi cara Anda mengendalikan diri tadi. Anda benar-benar sabar.”

“Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu. Anda lihat, ia sebenarnya bukan marah kepada saya. Saya cuma korban pelampiasan kemarahannya. Orang yang malang tadi mungkin baru saja ribut dengan istrinya, atau bisnisnya mungkin sedang lesu, atau barangkali ia merasa rendah diri, dan ini adalah peluang emasnya untuk melampiaskan kekesalannya.”

Pegawai tadi menambahkan, “pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.”

Sambil melangkah menuju lift, saya mengulang-ulang perkataannya, “pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.”

Ingat dua kalimat itu kalau ada orang yang menyatakan perang pada Anda. Jangan membalas. Cara untuk menang dalam situasi seperti ini adalah membiarkan orang tersebut melepaskan amarahnya, dan kemudian lupakan saja.

Air Mata Rasulullah SAW

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk. "Maafkanlah, ayahku sedang demam", kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?"

"Tak tahulah ayahku, sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah anaknya itu hendak dikenang.

"Ketahuilah, dia lah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dia lah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dia lah malaikatul maut," kata Rasulullah.

Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.

Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.

"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.

"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril.

Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" tanya Jibril lagi.

"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"

"Jangan khawatir, wahai Rasul! Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: "Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.

Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik.

Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.

"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku (peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu)".

Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.

"Ummatii, ummatii, ummatiii (Umatku, umatku, umatku)."

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?

Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi.

Monday, July 12, 2010

Always bear in mind that your own resolution to succeed is more important than any one thing. Abraham Lincoln (1809 - 1865)

If A is success in life, then A equals x plus y plus z. Work is x; y is play; and z is keeping your mouth shut.
Albert Einstein (1879 - 1955)

Try not to become a man of success but rather to become a man of value.
Albert Einstein (1879 - 1955)

A great secret of success is to go through life as a man who never gets used up.
Albert Schweitzer (1875 - 1965)

A discovery is said to be an accident meeting a prepared mind.
Albert Szent-Gyorgyi (1893 - 1986)

To follow, without halt, one aim: There's the secret of success.
Anna Pavlova (1885 - 1931)

If your success is not on your own terms, if it looks good to the world but does not feel good in your heart, it is not success at all.
Anna Quindlen (1953 - )

It is possible to fail in many ways...while to succeed is possible only in one way.
Aristotle (384 BC - 322 BC)

Of course there is no formula for success except perhaps an unconditional acceptance of life and what it brings.
Arthur Rubinstein (1886 - 1982)

Why be a man when you can be a success?
Bertolt Brecht (1898 - 1956)

I don't know the key to success, but the key to failure is trying to please everybody.
Bill Cosby (1937 - )

What's money? A man is a success if he gets up in the morning and goes to bed at night and in between does what he wants to do.
Bob Dylan (1941 - )

The person who makes a success of living is the one who see his goal steadily and aims for it unswervingly. That is dedication.
Cecil B. DeMille (1881 - 1959)

Nothing succeeds like the appearance of success.
Christopher Lasch

There is only one success - to be able to spend your life in your own way.
Christopher Morley (1890 - 1957)

The man of virtue makes the difficulty to be overcome his first business, and success only a subsequent consideration.
Confucius (551 BC - 479 BC)

Real success is finding your lifework in the work that you love.
David McCullough (1933 - )

Success in business requires training and discipline and hard work. But if you're not frightened by these things, the opportunities are just as great today as they ever were.
David Rockefeller (1915 - )

Aim for success, not perfection. Never give up your right to be wrong, because then you will lose the ability to learn new things and move forward with your life.
Dr. David M. Burns

We succeed only as we identify in life, or in war, or in anything else, a single overriding objective, and make all other considerations bend to that one objective.
Dwight D. Eisenhower (1890 - 1969)

Success is counted sweetest by those who ne'er succeed.
Emily Dickinson (1830 - 1886)

Success didn't spoil me, I've always been insufferable.
Fran Lebowitz (1950 - )

Nothing changes your opinion of a friend so surely as success - yours or his.
Franklin P. Jones

I owe my success to having listened respectfully to the very best advice, and then going away and doing the exact opposite.
G. K. Chesterton (1874 - 1936)

Nothing fails like success.
Gerald Nachman

To freely bloom - that is my definition of success.
Gerry Spence

My mother drew a distinction between achievement and success. She said that 'achievement is the knowledge that you have studied and worked hard and done the best that is in you. Success is being praised by others, and that's nice, too, but not as important or satisfying. Always aim for achievement and forget about success.'
Helen Hayes (1900 - 1993)

Men are born to succeed, not fail.
Henry David Thoreau (1817 - 1862)

Success usually comes to those who are too busy to be looking for it.
Henry David Thoreau (1817 - 1862)