Wikipedia

Search results

Monday, October 18, 2010

Pemancing Cilik

Pada tepian sebuah sungai, tampak seorang anak kecil sedang bermain-main. Sesekali tangannya dicelupkan ke dalam aliran air sungai yang sejuk. Si anak terlihat sangat menikmati permainannya.

Selain asyik bermain, si anak juga sering memerhatikan seorang paman tua yang hampir setiap hari datang ke sungai untuk memancing. Setiap kali bermain di sungai, setiap kali pula ia selalu melihat sang paman asyik mengulurkan pancingnya. Kadang, tangkapannya hanya sedikit.

Tetapi, tidak jarang juga ikan yang didapat banyak jumlahnya.

Suatu sore, saat sang paman bersiap-siap hendak pulang dengan ikan hasil tangkapan yang hampir memenuhi keranjangnya, si anak mencoba mendekat. Ia menyapa sang paman sambil tersenyum senang. Melihat si anak mendekatinya, sang paman menyapa duluan. "Hai Nak, kamu mau ikan? Pilih saja sesukamu dan ambillah beberapa ekor. Bawa pulang dan minta ibumu untuk memasaknya sebagai lauk makan malam nanti," kata si paman ramah.

"Tidak, terima kasih, Paman," jawab si anak.

"Lo, paman perhatikan, kamu hampir setiap hari bermain di sini sambil melihat paman memancing. Sekarang ada ikan yang paman tawarkan kepadamu, kenapa engkau tolak?"

"Saya senang memerhatikan Paman memancing, karena saya ingin bisa memancing seperti Paman. Apakah Paman mau mengajari saya bagaimana caranya memancing?" tanya si anak penuh harap.

"Wah wah wah. Ternyata kamu anak yang pintar. Dengan belajar memancing engkau bisa mendapatkan ikan sebanyak yang kamu mau di sungai ini. Baiklah. Karena kamu tidak mau ikannya, paman beri kamu alat pancing ini. Besok kita mulai pelajaran memancingnya, ya?"
Keesokan harinya, si bocah dengan bersemangat kembali ke tepi sungai untuk belajar memancing bersama sang paman. Mereka memasang umpan, melempar tali kail ke sungai, menunggu dengan sabar, dan hup... kail pun tenggelam ke sungai dengan umpan yang menarik ikan-ikan untuk memakannya. Sesaat, umpan terlihat bergoyang-goyang didekati kerumunan ikan. Saat itulah, ketika ada ikan yang memakan umpan, sang paman dan anak tadi segera bergegas menarik tongkat kail dengan ikan hasil tangkapan berada diujungnya.

Begitu seterusnya. Setiap kali berhasil menarik ikan, mereka kemudian melemparkan kembali kail yang telah diberi umpan. Memasangnya kembali, melemparkan ke sungai, menunggu dimakan ikan, melepaskan mata kail dari mulut ikan, hingga sore hari tiba.

Ketika menjelang pulang, si anak yang menikmati hari memancingnya bersama sang paman bertanya, "Paman, belajar memancing ikan hanya begini saja atau masih ada jurus yang lain?"

Mendengar pertanyaan tersebut, sang paman tersenyum bijak. "Benar anakku, kegiatan memancing ya hanya begini saja. Yang perlu kamu latih adalah kesabaran dan ketekunan menjalaninya. Kemudian fokus pada tujuan dan konsentrasilah pada apa yang sedang kamu kerjakan. Belajar memancing sama dengan belajar di kehidupan ini, setiap hari mengulang hal yang sama. Tetapi tentunya yang diulang harus hal-hal yang baik. Sabar, tekun, fokus pada tujuan dan konsentrasi pada apa yang sedang kamu kerjakan, maka apa yang menjadi tujuanmu bisa tercapai."

Friday, October 08, 2010

Wisdom :


"Uang belum pernah dan tak akan pernah membuat manusia bahagia. Makin banyak orang punya uang, makin banyak lagi yang dia inginkan. Uang membuat orang terus-menerus mengisi sesuatu yang kosong.

Benjamin Franklin (1706–1790), ilmuwan, filsuf, dan penemu asal AS.


Monday, October 04, 2010

Jangan Pernah Tergesa

Suatu ketika, ada sebuah roda yang kehilangan salah satu jari-jarinya. Ia tampak sedih. Tanpa jari-jari yang lengkap ia tak bisa lagi berjalan dengan lancar. Hal ini terjadi saat ia melaju terlalu kencang ketika melintasi hutan. Karena terburu-buru, ia melupakan, ada satu jari-jari yang jatuh dan terlepas. Kini sang roda pun bingung. Ke mana ia harus mencari bagian dari tubuhnya itu.

Sang roda pun berbalik arah. Ia kembali menyusuri jejak-jejak yang pernah dia tinggalkan. Perlahan, dia tapaki jalan-jalan itu. Satu demi satu di perhatikannya dengan seksama. Setiap benda dia amati, dan dia cermati, berharap, akan di temukannya jari-jari yang hilang itu.

Ditemuinya kembali rerumputan dan ilalang. Dihampirinya kembali bunga-bunga di tengah padang. Dikunjunginya kembali semut dan serangga kecil di jalanan. Dan dilewatinya lagi semua batu-batu dan kerikil-kerikil pualam. Hei, kenapa kini semuanya tampak lain. Ya, sewaktu sang roda melintasi jalan itu dengan laju yang kencang, semua hal tadi cuma berbentuk titik-titik kecil. Semuanya tampak biasa, dan tak istimewa. Namun kini, semuanya jadi lebih indah.

Rerumputan dan ilalang menyapanya dengan ramah. Mereka kini tak lagi hanya berupa batang-batang yang kaku. Mereka tersenyum, melambai tenang, bergoyang dan menyampaikan salam.

Ujung-ujung rumput itu, bergesek dengan lembut di sisi sang roda, menimbulkan suara yang ritmik, kesiuran sahdu ditimpuki angin. Sang roda pun tersenyum dan melanjutkan pencariannya.

Bunga-bunga pun tampak lebih indah. Harum dan semerbak, lebih terasa menyegarkan. Kuntum-kuntum yang baru terbuka, menampilkan wajah yang cerah. Kelopak-kelopak yang tumbuh, menari, seakan bersorak pada sang roda. Sang roda tertegun dan berhenti sebentar. Sang bunga pun merunduk, memberikan salam hormat.

Dengan perlahan, dilanjutkannya kembali perjalanannya. Kini, semut dan serangga kecil itu mulai berbaris, dan memberikan salam yang paling semarak. Kaki-kaki mereka bertepuk, membunyikan keriangan yang meriah. Sayap-sayap itu bergetar, seakan ada ribuan genderang yang ditabuh. Mereka saling menyapa. Dan, serangga itu pun memberikan salam dan doa pada sang Roda.

Begitu pula batu dan kerikil pualam. Kilau yang hadir, tampak berbeda jika di lihat dari mata yang tergesa-gesa. Mereka lebih indah, dan setiap sisi batu itu memancarkan kemilau yang teduh. Tak ada lagi sisi dan ujung yang tajam dari batu yang kerap mampir di tubuh sang Roda.

Semua batu dan pualam, membuka jalan, memberikan kesempatan untuk melanjutkan perjalanan.

Setelah lama berjalan, akhirnya, ditemukannya jari-jari yang hilang. Sang roda pun senang. Dan ia berjanji, tak akan tergesa-gesa dan berjalan terlalu kencang dalam melakukan tugasnya.

Begitulah hidup. Kita seringkali berlaku seperti roda-roda yang berjalan terlalu kencang. Kita sering melupakan ada saat-saat indah yang terlewat di setiap kesempatan. Ada banyak hal-hal kecil, yang sebetulnya menyenangkan, namun kita lewatkan karena terburu-buru dan tergesa-gesa.

Hati kita, kadang terlalu penuh dengan target, yang membuat kita hidup dalam kebimbangan dan ketergesaan. Langkah-langkah kita, kadang selalu dalam keadaan panik, dan lupa bahwa di sekitar kita banyak sekali hikmah yang perlu ditekuni.

Seperti saat roda yang terlupa pada rumput, ilalang, semut dan pualam, kita pun sebenarnya sedang terlupa pada hal-hal itu. Coba, susuri kembali jalan-jalan kita. Cermati, amati, dan perhatikan setiap hal yang pernah kita lewati. Runut kembali perjalanan kita. Kenanglah ingatan-ingatan lalu.

Susuri dengan perlahan.

Temukan keindahan itu!

Cacing, Burung dan Manusia

Saat mengalami kesulitan hidup, entah akibat himpitan kebutuhan materi atau masalah lainnya, kita kadang cepat sekali berputus asa. Malah, ada yang sampai berpikiran untuk mengakhiri hidupnya karena tak kuat menanggung beban. Apakah hidup sudah demikian beratnya, sampai kita layak berputus asa? Cobalah lihat kehidupan di sekeliling kita. Banyak yang lebih menderita. Tengok pula kehidupan burung dan cacing. Dari mereka, kita bisa belajar tentang kehidupan.

Burung senantiasa berkicau riang saat matahari belum keluar dari ufuk timur. Setiap pagi, burung-burung selalu bersemangat keluar dari sarangnya untuk mencari makan. Mereka tidak pernah membayangkan akan ke mana untuk mencari makanan. Mereka terbang begitu saja.

Namun mereka jarang pulang dalam keadaan lapar. Saat sore menjelang, mereka pulang ke sarang dengan perut menggembung kenyang, sambil tak lupa memberi oleh-oleh makanan untuk keluarganya. Kalaupun hari itu mereka tak menemukan makanan, mereka tak pernah mengeluh.

Meskipun burung lebih sering mengalami kekurangan makanan karena tidak punya 'pekerjaan tetap', apalagi saat musim kemarau, saat banyak sawah kekeringan, tanaman padi menjadi puso, namun kita tidak pernah mendengar ada cerita burung yang berusaha untuk bunuh diri.

Kita tidak pernah melihat ada burung yang tiba-tiba menukik membenturkan kepalanya ke batu cadas, karena keputusasaannya. Tak pernah pula kita mendengar ada burung yang tiba-tiba menenggelamkan diri ke sungai karena kalut menghadapi kesulitan hidup. Mustahil pula kita dengar, cerita burung yang memilih meminum racun untuk mengakhiri penderitaannya.

Yang kita lihat adalah burung tetap optimis akan makanan yang dijanjikan Sang Pencipta.

Coba perhatikan, walaupun kelaparan, tiap pagi burung tetap berkicau dengan merdu.

Tampaknya burung menyadari benar bahwa demikianlah hidup, suatu waktu berada di atas, dan di lain waktu terhempas ke bawah. Suatu waktu kelebihan dan di lain waktu kekurangan.

Suatu waktu kekenyangan dan di lain waktu kelaparan.

Selain burung, kita juga bisa mengambil pelajaran dari hewan yang jauh lebih lemah, cacing. Kalau kita perhatikan, binatang ini seolah-olah tidak mempunyai sarana yang layak untuk dapat bertahan hidup. Cacing tidak mempunyai kaki, tangan, bahkan tidak memiliki mata dan telinga.

Dengan keadaan fisiknya yang serbaterbatas, cacing tetap memilki perut yang harus diisi.
Cacing, dengan segala keterbatasannya, tidak pernah putus asa dan merasa frustrasi. Belum pernah kita menyaksikan cacing yang membentur-benturkan kepalanya ke batu karena keputusasaannya dalam menghadapi kesulitan hidup.

Kita, sebagai manusia, yang telah dikaruniai akal oleh Sang Pencipta, seharusnya kita bisa lebih unggul daripada makhluk lainnya. Bila dibandingkan dengan burung atau cacing, sarana yang dimiliki manusia untuk mencari nafkah jauh lebih canggih.

Tetapi pada kenyataannya, manusia yang dibekali banyak kelebihan ini seringkali kalah dari burung atau cacing. Manusia kerap berputus asa.

Manusia ditakdirkan untuk hidup dengan penuh risiko. Tidak ada sebuah pintu sukses pun yang dapat dilalui tanpa terlebih dahulu menaklukkan risiko yang menghadang. Risiko tidak hanya menawarkan ancaman dan bahaya, tapi juga menawarkan peluang dan harapan yang lebih baik di hari esok. Manusia harus melakukan evaluasi semua risiko berdasarkan kadar bahayanya, agar ditemukan solusi terbaik.

Ketakutan yang berlebihan terhadap ancaman dan bahaya hanya akan membuat Anda mati dalam rasa takut. Manusia adalah sebuah energi yang hanya berkembang menjadi lebih baik jika diancam oleh berbagai jenis risiko. Tanpa ancaman dari berbagai risiko hidup, manusia tidak lebih hanya seonggok daging hidup yang berkeliaran di permukaan bumi sambil merumput di padang liar.

Resiko adalah tantangan menuju sukses, sebuah realitas yang tidak dapat diingkari. Tanpa adanya ancaman dari berbagai macam risiko dalam hidup manusia, maka gairah hidup akan gersang, dan tidak akan ada gerak ke arah yang lebih tinggi.

Setiap kemenangan hidup hanya didapatkan setelah mampu memenangkan pertempuran melawan segala risiko dengan inisiatif, keberanian, semangat, dan penuh perhitungan dalam sebuah tindakan yang tepat waktu dan tepat sasaran.

Jadi, tidak ada alasan untuk putus asa, bukan?

Kesedihan, Kebahagiaan, Keheningan

Ada seorang ibu yang memiliki sepasang putra-putri. Ia selalu mengisi hidupnya hanya dengan kesedihan. Putra tertua bekerja sebagai penjual es krim keliling, sementara putri kedua adalah penjual payung. Ketika hari panas, sang ibu menangis untuk putrinya karena teramat sedikit yang beli payung. Saat hari hujan, sang ibu menangis untuk putranya karena jarang sekali orang membeli es krim.

Cerita ini hanya pengandaian tentang teramat banyaknya hidup yang diwarnai kesedihan. Ada saja alasan yang membuat kehidupan tergelincir ke dalam kesedihan. Dari bencana, penyakit, umur tua, hingga kematian. Sehingga jadilah kesedihan semacam hulu dari sungai kehidupan yang penuh stres, keluhan, penyakit, dan konflik.

Kegembiraan-kesedihan

Seorang sahabat psikiater pernah bercerita, tidak sedikit rumah sakit jiwa yang mulai kekurangan tempat. Sejumlah rumah sakit jiwa bahkan memulangkan pasien yang belum sepenuhnya sembuh, semata-mata karena ada pasien parah yang lebih membutuhkan.
Kebanyakan orang membenci kesedihan. Dalai Lama kerap mengatakan, "ada yang sama di antara kita, tidak mau penderitaan, mau kebahagiaan". Dan ini tentu amat manusiawi. Sedikit manusia yang berani mengatakan, jika mau menangis janganlah menangis di depan kematian.

Menangislah di depan kelahiran. Sebab semua kelahiran membawa serta penyakit, umur tua, lalu kematian.

Dengan kata lain, kelahiran sekaligus kehidupan tak bisa menghindar dari kesedihan. Kesedihan selalu mengikuti langkah kelahiran. Seberapa kuat manusia berusaha, seberapa perkasa manusia membentengi diri, kesedihan tetap datang dan datang lagi.

Seperti ayunan bandul, semakin keras dan semakin bernafsu seseorang dengan kebahagiaan, semakin keras pula kesedihan menggoda. Ini yang bisa menjelaskan mengapa sejumlah penikmat kebahagiaan secara berlebihan, lalu digoda kesedihan juga berlebihan. Ini juga yang ada di balik data WHO jika Amerika Serikat (sebagai salah satu tempat terbesar di mana kebahagiaan demikian dikejar dan dicari), menjadi konsumen pil tidur per kapita tertinggi di dunia.

Ada peneliti membandingkan dua negara yang sama-sama mayoritas beragama Buddha, yaitu Jepang dan Burma. Dari segi materi, Jepang merupakan sebuah keajaiban dan keunikan. Dibanding Jepang, Burma secara materi jauh dari layak. Namun dalam fenomena sosial seperti bunuh diri, perceraian, dan depresi, Jepang jauh lebih tinggi dari Burma. Seperti berbisik meyakinkan, di mana kebahagiaan materi berlimpah, di sana kesedihan juga berlimpah.

Seperti sadar realita pendulum seperti itu, banyak pertapa, penekun meditasi, yogi, sahabat sufi, dan lainnya, mengizinkan pendulum emosi hanya bergerak dalam ruang terbatas. Saat kebahagiaan datang, disadari kalau kebahagiaan akan diganti kesedihan. Sehingga nafsu perayaan berlebihan agak direm. Konsekuensinya, saat kesedihan berkunjung, ia tidak seberapa menggoda.

Merasa berkecukupan

Kahlil Gibran dalam The Prophet memberi kata-kata indah, saat kita bercengkerama dengan kebahagiaan di ruang tamu, kesedihan menunggu di tempat tidur. Dalam pengertian lebih sederhana, manusia serumah dengan kebahagiaan dan kesedihan. Bagaimana bisa lari jauh atau lama dari kesedihan yang notabene serumah dengan kita?

Karena itu, sejumlah guru mengajarkan untuk melampaui kebahagiaan-kesedihan. Dalam bahasa guru jenis ini, kebahagiaan dan kesedihan hanya permainan bagi jiwa-jiwa yang sedang tumbuh menjadi dewasa. Pertumbuhan itulah yang memerlukan gerakan kebahagiaan, kesedihan, kebahagiaan, kesedihan, dan seterusnya.

Namun bagi setiap jiwa yang sudah mulai dewasa, ia akan sadar, kalau baik kebahagiaan maupun kesedihan memiliki sifat yang sama, tak pasti dan silih berganti. Bukankah bergantung pada sesuatu yang tak pasti akan membuat hidup tidak pasti? Lebih dari itu, baik kebahagiaan dan kesedihan berakar pada hal yang sama, keinginan. Bila keinginan terpenuhi, kebahagiaan datang berkunjung. Saat keinginan tidak terpenuhi, kesedihan yang menjadi tamu.

Dan setiap pejalan kaki ke dalam diri yang jauh tahu, keinginan adalah ibu penderitaan.
Kesadaran seperti inilah yang membimbing sejumlah orang untuk memasuki wilayah-wilayah keheningan.

Berbeda dengan kebahagiaan yang lapar akan ini, lapar akan itu; membandingkan dengan ini dengan itu; ingin lebih dari ini, lebih dari itu. Keheningan sudah berkecukupan. Seperti burung terbang di udara, ikan berenang di air, serigala berlari di hutan, matahari bersinar siang hari, bintang bercahaya di malam hari. Semua sempurna. Tidak ada yang layak ditambahkan atau dikurangkan. Penambahan atau pengurangan mungkin bisa membahagiakan. Tetapi, dalam kebahagiaan, batin tidak sepenuhnya tenang-seimbang, selalu ada ketakutan digantikan kesedihan.

Dalam kamus orang-orang yang sudah memasuki keheningan, sekaya apa pun Anda akan tetap miskin tanpa rasa berkecukupan. Semiskin apa pun Anda, akan tetap kaya kalau hidup berkecukupan. Maka seorang guru yang telah tercerahkan pernah berucap, "Enlightenment is like the reflection of the moon in the water. The moon doesn’t get wet, the water is not separated". Pencerahan seperti bayangan bulan di air. Bulannya tidak basah karena air. Airnya tidak terpecah karena bulan. Dengan kata lain, inti pencerahan adalah tidak tersentuh. Tidak marah saat dimaki, tidak sombong tatkala dipuji. Tidak melekat pada kebahagiaan, tidak menolak kesedihan. Persis seperti bunga padma, di air tidak basah, di lumpur tidak kotor.

Dan salah satu akar menentukan dari ketidaktersentuhan ini adalah keberhasilan mendidik diri untuk merasa berkecukupan. Yang tersisa setelah ini hanya empat "M", mengalir, mengalir, mengalir, dan mengalir.

Jangan Ragu Ucapkan Cinta

Bila Anda mencintai seseorang, pastikan dia tahu...

POHON
Orang-orang memanggilku "Pohon" karena Aku sangat baik dalam menggambar pohon. Aku selalu menggunakan gambar pohon pada sisi kanan sebagai trademark pada semua lukisanku. Aku telah berpacaran sebanyak 5 kali, tapi hanya ada satu wanita yang benar-benar sangat kucintai.

Dia tidak cantik, tidak memiliki tubuh seksi. Tapi, dia sangat peduli dengan orang lain, religius. Gayanya yang sederhana dan apa adanya, kemandiriannya, kepandaiannya, dan kekuatannya. Aku menyukainya, sangat!

Satu-satunya alasanku tidak mengajaknya kencan karena, aku merasa dia sangat biasa dan tidak serasi untukku. Aku takut, jika kami bersama, semua perasaan yang indah ini akan hilang. Aku takut kalau gosip-gosip yang ada akan menyakitinya. Karena itu, aku memilihnya untuk hanya menjadi "sahabat".

Menjadi sahabatnya, aku akan bisa 'memiliki'nya tiada batasnya. Tidak harus memberikan semuanya hanya untuk dia.

Selama tiga tahun terakhir, dia selalu menemaniku dalam berbagai kesempatan, sebagai sahabat. Dia tahu aku mengejar gadis-gadis lain. Ketika dia melihatku mencium pacarku yang ke-2, dia hanya tersenyum dengan berwajah merah. "Lanjutkan saja," katanya, setelah itu pergi meninggalkan kami.

Esoknya, matanya bengkak dan merah.

Aku sengaja tidak mau memikirkan apa yang menyebabkannya menangis. Aku pun berusaha membuatnya tertawa dengan mengajaknya bercanda sepanjang hari.

Kali lainnya, di sebuah sudut ruang dia menangis. Hampir 1 jam kulihat dia menangis. Aku paham betul apa penyebabnya. Pacarku yang ke-4 tidak menyukainya. Mereka berdua perang dingin. Aku tahu bukan sifatnya untuk memulai perang dingin, tapi Aku masih tetap bersama pacarku. Aku berteriak padanya dan matanya penuh dengan air mata sedih dan kaget. Aku tidak memikirkan perasaannya dan pergi meninggalkannya bersama pacarku.

Esoknya dia masih bisa tertawa dan bercanda denganku seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Aku tahu dia sangat sedih dan kecewa tapi dia tidak tahu bahwa sakit hatiku sama buruknya dengan dia. Aku juga sedih.

Ketika aku putus dengan pacarku yang kelima, aku mengajaknya pergi. Setelah kencan satu hari itu, aku mengatakan bahwa ada sesuatu yang ingin kukatakan padanya. Dia mengatakan bahwa kebetulan sekali bahwa dia juga ingin mengatakan sesuatu padaku..

Aku bercerita bahwa aku telah memutuskan hubungan dengan pacarku. Sementara, dia berkata bahwa dia sedang memulai suatu hubungan dengan seseorang.

Aku tahu pria itu. Dia sering mengejarnya selama ini. Pria yang baik, penuh energi dan menarik.
Aku tak bisa memperlihatkan betapa sakit hatiku. Aku hanya tersenyum dan mengucapkan selamat padanya. Ketika sampai di rumah, sakit hatiku bertambah kuat, dan aku tidak dapat menahannya. Seperti ada batu yang sangat berat di dadaku. Aku tak bisa bernapas dan ingin berteriak. Dan, aku menangis!

Handphoneku bergetar, ada SMS masuk. "DAUN terbang karena ANGIN bertiup atau karena POHON tidak memintanya untuk tinggal?"

DAUN

Aku suka mengoleksi daun-daun, karena aku merasa bahwa daun membutuhkan banyak kekuatan untuk bisa meninggalkan pohon yang selama ini ditinggali.

Selama tiga tahun aku dekat dengan seorang pria, bukan sebagai pacar tapi "sahabat". Ketika dia mempunyai pacar untuk yang pertama kalinya, aku mempelajari sebuah perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya: cemburu.

Mereka hanya bersama selama 2 bulan. Ketika mereka putus, aku menyembunyikan perasaan yang luar biasa gembiranya. Aku menyukainya dan aku juga tahu bahwa dia juga menyukaiku, tapi mengapa dia tidak pernah mengatakannya?

Jika dia mencintaiku, mengapa dia tidak memulainya dahulu untuk melangkah?

Ketika dia punya pacar baru lagi, hatiku sedih. Waktu terus berjalan, hatiku semakin sedih dan kecewa. Aku mulai mengira bahwa ini adalah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Tapi, mengapa dia memperlakukanku lebih dari sekadar seorang teman?

Menyukai seseorang sangat menyusahkan hati. Aku tahu kesukaannya, kebiasaannya, tapi perasaannya kepadaku tidak pernah bisa kupahami. Kadang aku merasa bodoh, karena aku juga berkeras tidak mau mengungkapkan perasaanku. Selain alasan itu, aku mau tetap di sampingnya, memberinya perhatian, menemani, dan mencintainya. Berharap suatu hari nanti dia akan datang dan mencintaiku..

Aku selalu menunggu telponnya setiap malam, dan mengharapkan SMS darinya. Aku tahu, sesibuk apapun dia, pasti meluangkan waktunya untukku. Karena itu aku selalu menunggunya.
Tiga tahun berlalu, dan aku mulai merasa lelah.

Akhir tahun ketiga, seorang pria mengejarku. Setiap hari dia mengejarku tanpa lelah. Segala daya upaya telah dilakukan walau seringkali ada penolakan dariku. Aku mulai berpikir, mungkinkah aku bisa memberikan sebuah ruang kecil di hatiku untuknya?

Dia seperti angin yang hangat dan lembut, mencoba meniup daun untuk terbang dari pohon. Aku tahu Angin akan membawa pergi Daun yang lusuh jauh dan ke tempat yang lebih baik.
Meski berat, akhirnya aku meninggalkan Pohon. Tapi Pohon hanya tersenyum dan tidak memintaku untuk tinggal. Aku sangat sedih memandangnya tersenyum ke arahku.

"DAUN terbang karena ANGIN bertiup atau karena POHON tidak memintanya untuk tinggal?"

ANGIN

Aku menyukai seorang gadis bernama Daun. Tapi, dia sangat bergantung pada Pohon, sehingga aku harus menjadi 'Angin' yang kuat agar bisa meniupnya hingga terbang jauh dari pohon.

Aku selalu memperhatikan Daun duduk sendirian atau bersama teman-temannya, memerhatikan Pohon. Ketika Pohon berbicara dengan gadis-gadis, ada cemburu di matanya.
Ketika Pohon melihat ke arah Daun, ada senyum di matanya.

Memperhatikannya menjadi kebiasaanku, seperti Daun yang suka melihat Pohon. Satu hari saja tak kulihat dia, aku merasa sangat kehilangan.

Di sudut ruang, kulihat Pohon sedang memperhatikan Daun. Air mengalir di mata Daun ketika Pohon pergi.

Esoknya, kulihat Daun di tempatnya yang biasa, sedang memperhatikan Pohon. Aku melangkah dan tersenyum padanya. Kuambil secarik kertas, kutulisi dan kuberikan padanya. Dia sangat kaget. Dia melihat ke arahku, tersenyum dan menerima kertas dariku.

Esoknya, dia datang menghampiriku dan memberikan kembali kertas itu. Hati Daun sangat kuat dan Angin tidak bisa meniupnya pergi. Daun tidak mau meninggalkan Pohon.

Bertahun berlalu, aku kembali menghampirinya dengan kata-kata yang sama. Meski sangat pelan, akhirnya dia mulai membuka dirinya dan menerima kehadiranku. Aku tahu orang yang dia cintai bukan aku, tapi aku akan berusaha agar suatu hari dia menyukaiku.

Selama empat bulan, aku telah mengucapkan kata Cinta tidak kurang dari 20 kali kepadanya. Hampir setiap kali dia mengalihkan pembicaraan, tapi aku tidak menyerah. Keputusanku bulat, aku ingin memilikinya.

Suatu hari, dia bilang bahwa dia memberikan kesempatan untukku.
"Ah?" Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar. Aku menengadahkan kepalaku dan berusaha memastikan perkatannya. Dia berteriak dan mengatakannya kembali.
Kuletakkan telpon, melompat, berlari seribu langkah ke rumahnya. Dia membuka pintu bagiku. Kupeluk erat-erat tubuhnya.

"DAUN terbang karena tiupan ANGIN atau karena POHON tidak memintanya untuk tinggal?"