Wikipedia
Monday, August 30, 2010
Jangan Durhaka pada Anak
Saat itu memang tak ada mobil, sepi, juga tak ada polisi, kecuali seorang ibu dengan anaknya yang masih balita. Begitu ia sampai ke seberang jalan, terdengar teriakan si ibu dari seberang jalan yang baru saja ia tinggalkan. "Hei, hei, ke Sini!"
Mendengar seorang ibu yang berteriak sambil melambaikan tangan, lagi-lagi sebagai orang Indonesia, teman ini langsung kembali menyeberang. Pasti ada apa-apa dengan ibu ini, ia butuh pertolongan. Sesampainya di dekat ibu itu, ia dibentak, "Hai, kenapa kamu menyeberang bukan dari zebra-cross? Tahukah kamu, kelakuanmu itu sudah mengajari anak saya
melanggar peraturan, kamu sudah menanamkan dalam memorinya bahwa melanggar peraturan itu sesuatu yang biasa-biasa saja!"
Cerita ini mengagetkan teman saya, juga saya. Soal orang Indonesia melanggar peraturan bukanlah hal yang mengejutkan. Namun argumen ibu itu yang mengaitkan pelanggaran dengan masa depan anaknya itulah yang lebih mengejutkan. Begitu pentingnya masa depan anak-anak bagi ibu itu, begitu pentingnya ibu itu menjaga memori dan kesadaran anaknya agar tetap terjaga dalam perbuatan baik. Bagaimana dengan kita?
Pertengahan bulan Juli ini, saya memiliki cerita yang lain tentang orang tua dan anaknya. Kali ini dari tetangga-tetangga saya yang mau menyekolahkan anaknya di SMP. Konon, sang anak adalah juara umum di sekolahnya dan dapat mengikuti test masuk SMP dengan mudah. "Mudah-mudahan anak saya bisa masuk pilihan pertamanya!" harap sang bapak.
Tanggal 11 malam, sang bapak bertemu lagi dengan wajah yang muram, lebih tepatnya penuh kekecewaan, "Anak saya gagal, semula nilainya 80, saya sudah mengeceknya lewat SMS. Eh...kemarin nilainya jadi 67. Saya protes, dan guru-guru di SMP itu minta maaf atas kekhilafannya. Lalu, mereka menawarkan jalan belakang, biasa dengan bayar sekian rupiah!"
Tetangga saya menolak untuk membayar, ia biarkan anaknya ke sekolah swasta saja.
"Saya tak mau anak saya belajar di sekolah pembohong!" Menurut sahibul gosip, melorotnya nilai anak tetangga saya itu karena ada beberapa anak lain yang nilainya rendah dikatrol dengan cara membayar sekian rupiah. Tentu saja yang membayarnya adalah orang tua, dan yang menerimanya adalah guru yang terhormat.
Marilah kita bandingkan sikap dan tanggung jawab kita pada anak-anak. Keputusan untuk membayar sejumlah rupiah demi sang anak tentu didasari pilihan untuk memberikan kasih sayang yang terbaik buat sang anak, namun pada saat yang bersamaan kita telah menanamkan racun pada kesadaran anak-anak itu. Racun itu adalah: 1) uang bisa menyelesaikan segalanya; 2) tak usah berprestasi, biasa-biasa saja, nanti juga uang bisa menambalnya.
Barangkali dari peristiwa kecil inilah korupsi membudaya. Tanpa sadar kita melakukannya setiap hari, dan repotnya lagi kita melakukan itu di depan anak-anak kita. Anak-anak yang masih polos itu pastilah telah mencatat di relung kesadarannya dan menjadikannya falsafah hidup sepanjang hayat. Terlebih lagi, peristiwa ini dialami sang anak di lembaga pendidikan yang semua aspeknya merupakan nilai mulia yang harus ditiru dan diteladani.
Marilah kita bercermin lagi pada cerita yang lain. Cerita kali ini datang dari salah seorang cucu Mahatma Ghandi. Ia dan anaknya pergi ke suatu tempat. Karena acara sang ayah agak lama, sang anak diizinkan untuk membawa mobil itu bagi keperluannya sendiri. "Syaratnya, jam sekian kamu harus berada di sini, menjemput Bapak!" ujar sang ayah.
Pada jam yang ditentukan sang anak belum kembali, menit demi menit sang anak belum juga kembali. Sang ayah menunggu sampai beberapa jam. Lalu, sang anak datang dan mengajukan permohonan maafnya. "Baiklah kalau begitu," ujar sang ayah, "naikilah mobil itu, bawalah pulang. Bapak akan jalan kaki ke rumah!" Sang anak protes dan merasa bersalah.
Namun sang Ayah tetap saja jalan kaki sambil berpesan, "Mengingkari janji adalah kesalahan terbesar dalam hidup ini, kamu sudah melakukannya padaku. Semua itu pastilah bukan kesalahanmu, itu semua karena saya salah mengajarimu, Nak. Karena itu biarlah ayah menghukum diri, menghukum kesalahan pendidikanku padamu!" Sejak saat itu, sang anak tak pernah lagi mengingkari janji.
Seluruh kisah-kisah ini adalah bahan refleksi kita. Benarkah kita serius merawat anak kita yang sering kita sebut sebagai amanah (titipan) dari Allah?
Betapa mulia kata-kata "amanah (titipan) Allah". Pada istilah ini terlihat relasi antara Allah dan kita yang sedemikian akrab, Allah percaya pada kita karena itu Dia menitipkan sesuatu yang berharga. Lazimnya titipan, ia harus tetap seperti nilai awalnya. Nilai awal sang anak adalah fitrah, dan harus tetap fitrah.
Fitrahnya adonan untuk dicetak, fitrahnya perhiasan untuk membuat bangga pemakainya, fitrahnya sang anak tentu bukan untuk "dicetak" agar "membuat bangga" orang tuanya. Sang anak adalah sebutir benih yang begitu rapuh, butuh tanah yang baik dan pemeliharaan yang sesuai takaran. Kecenderungan benih adalah terus mencari cahaya, tetapi putik
kecil bisa saja ditipu --diberi cahaya palsu-- dan memercayainya seumur hidup.
Bisakah kita menjadi tanah, yang menerima amanat secara jujur? Tanah tak pernah menumbuhkan semangka bila ia mendapatkan titipan benih padi. Benih padi yang ditanam, tumbuhan padi pula yang tumbuh. Bisakah kita menerima benih fitrah "anak kita" dan mengembangkannya menjadi fitrah yang lebih baik? Sebuah hadis menyatakan bahwa setelah kematian menerpa kita, tak ada yang bisa menolong dari siksa kubur kecuali doa dari kesalehan sang anak. Tentu saja, maksud hadis ini bila sang anak, "titipan Allah" itu, telah kita jaga dan tumbuh tetap berada dalam fitrahnya, maka kita akan mendapatkan hadiah dari Tuhan karena telah menjaga amanahnya dengan baik.
Pada hari ini, ada baiknya kita menyempatkan diri untuk mengelus dan mengecup lembut kening mereka. Kita layak meminta maaf karena selama ini telah memberikan ruang hidup yang sumpek, penuh keluhan dan pertengkaran, serta tidak memberikan jaminan-moral. Kita pun layak memohon ampunan pada Allah karena titipan-Nya belum dirawat secara baik. Tersenyumlah, anak-anak menunggu ketulusan kita!
Monday, August 02, 2010
Pasir-pasir Keikhlasan
Dua orang pengembara sedang melakukan perjalanan.Mereka tengah melintasi padang pasir yang sangat luas.Sepanjang mata memandang hanya ada pasir membentang.
Jejak–jejak kaki mereka meliuk –liuk di belakang membentuk kurva yang berujung di setiap langkah yang mereka tapaki. Debu-debu pasir yang beterbangan memaksa mereka berjalan merunduk. Tiba–tiba badai datang. Angin besar menerjang mereka. Hembusannya membuat tubuh dua pengembara itu limbung. Pasir beterbangan di sekeliling mereka. Pakaian mereka mengelepak ,menambah berat langkah mereka yang terbenam di pasir. Mereka saling menjaga dengan tangan berpegangan erat. Mereka mencoba melawan ganasnya badai.
Badai reda, tapi musibah lain menimpa mereka. Kantong bekal air minum mereka terbuka saat badai tadi. Isinya tercecer. Entah gundukan pasir mana yang meneguknya. Kedua pengembara itu duduk tercenung, menyesali kehilangan itu.” Ah…, tamatlah riwayat kita,” kata pengembara pertama. Lalu ia menulis di pasir dengan ujung jarinya. “Kami sedih. Kami kehilangan bekal minuman kami di tempat ini.”
Kawannya, si pengembara dua pun tampak bingung. Namun mencoba tabah. Membereskan perlengkapannya dan mengajak kawannya melanjutkn perjalanan. Setelah lama menyusuri padang pasir ,mereka melihat ada oase di kejauhan. ” Kita selamat,” seru salah seorang di antara mereka. ”Lihat,ada air di sana.”
Dengan sisa tenaga yang ada, mereka berlari ke oase itu. Untung, bukan fatamorgana. Benar-benar sebuah kolam. Meski kecil tapi airnya cukup banyak. Keduanya pun segera minum sepuas puasnya dan mengisi kantong air.
Sambil beristirahat, pengembara pertama mengeluarkan pisau genggamnya dan memahat di atas sebuah batu. “Kami bahagia. Kami dapat melanjutkan perjalanan karena menemukan tempat ini.”
Pengembara kedua heran. ”Mengapa kini engkau menulis di atas batu, sementara tadi kau menulis di pasir ?”
Yang di tanya tersenyum. ”Saat kita mendapat kesusahan, tulislah semua itu di atas pasir.
Biarkan angin keikhlasan membawanya jauh dari ingatan. Biarkan catatan itu hilang bersama menyebarnya pasir ketulusan. Biarkan semuanya lenyap dan pupus,” jawabnya dengan bahasa cukup puitis. ”Namun, ingatlah saat kita mendapat kebahagiaan. Pahatlah kemuliaan itu di batu agar tetap terkenang dan membuat kita bahagia .Torehlah kenangan kesenangan itu di kerasnya batu agar tak ada yang dapat menghapusnya. Biarkan catatan kebahagiaan itu tetap ada. Biarkan semuanya tersimpan.”
Keduanya bersitatap dalam senyum mengembang. Bekal air minum telah di dapat, istirahatpun telah cukup, kini saatnya untuk melanjutkan perjalanannya. Kedua pengembara itu melangkah dengan ringan seringan angin yang bertiup mengiringi.
Teman, kesedihan dan kebahagiaan selalu hadir. Berseling-seling mewarnai panjangnya hidup ini. Keduanya mengguratkan memori di hamparan pikiran dan hati kita. Namun, adakah kita besikap seperti pengembara tadi yang mampu menuliskan setiap kesedihan di pasir agar angin keikhlasan membawanya pergi? Adakah kita ini sosok tegar yang mampu melepaskan setiap kesusahan bersama terbang nya angin ketulusan?
Teman, cobalah untuk selalu mengingat setiap kebaikan dan kebahagiaan yang kita miliki. Simpanlah semua itu di dalam kekokohan hati kita agar tak ada yang mampu menghapusnya. Torehkan kenangan bahagia itu agar tak ada angin kesedihan yang mampu melenyapkannya. Insya Allah, dengan begitu kita akan selalu optimistis dalam mengarungi panjangnya hidup ini.
Keikhlasan dalam Kekuasaan
Orang bijak pernah berkata bahwa sejatinya kebenaran itu bukan untuk dipelajari, melainkan harus ditemukan. Lalu, di mana kita dapat mencari kebenaran?
"Kebenaran dapat ditemukan di dalam diri kita saat diam," ujar sang bijak. Sebab, dalam diam, kita bisa berbicara dengan hati. Hati merupakan teleskop jiwa, sedangkan mata adalah teleskop dari hati.
Kadang kala kita sering mempertunjukkan kekerdilan diri karena tidak mau diam. Mulut kita terus-menerus berbicara, padahal kita sendiri saja tidak yakin apakah pembicaraan itu benar-benar cerminan keinginan hati. Mulut kita sudah berbuih-buih karena begitu getolnya berbicara, namun isinya hanya bohong belaka.
Sesungguhnya, diam adalah perisai orang bodoh dan pelindung bagi orang bijak. Orang bodoh tidak perlu membuktikan kebodohannya bila dia diam. Dengan berdiam diri serta belajar sabar, persoalan yang begitu pelik akan lebih mudah terpecahkan.
Coba kita simak kisah Nasrudin saat sibuk mencari jarum yang hilang di halaman rumahnya. Berjam-jam dia mencari jarum yang hilang itu sehingga mengundang perhatian seluruh tetangganya. Akhirnya mereka ikut sibuk membantu Nasrudin, tetapi jarum yang dicari tidak ditemukan juga. Seolah olah lenyap ditelan bumi.
Namun, ada salah seorang tetangga yang diam saja sejak tadi. Ia hanya memperhatikan tingkah rekan-rekannya. Lalu ia mendekati Nasrudin dan bertanya, "di mana jarum itu terjatuh?" Nasrudin menjawab, "di dalam rumah."
Ia terkejut. Jarum yang hilang di dalam rumah, kenapa dicari di halaman rumah?
"Ya, kalau saya mencarinya di dalam rumah tidak akan ketemu karena gelap gulita, jadi saya mencarinya di halaman rumah karena terang oleh cahaya matahari."
Kalau kita membaca kisah Nasrudin, kita akan menemukan bahwa seringkali logika Nasrudin terbolak-balik. Namun, sesungguhnya, ada makna lain yang tersirat di dalam cerita. Dari analogi cerita di atas misalnya, bisa diartikan banyak makna. Salah satunya, bahwa sebenarnya kehidupan itu intinya ada di hati. Jika hati 'gelap', sulit menemukan kebenaran. Jadi, kita perlu 'cahaya'. Hanya karena tak memahaminya, maka kita berada dalam kegelapan.
Sebenarnya, setiap gerak, isyarat, bentuk, suara, perkataan, ekspresi, suasana, semuanya menjadi ekspresi sifat dan karakter seseorang. Tanpa harus berbicara saat memandang mata lawan bicara, kita bisa mengartikan apakah dia benar benar ridha atau tidak, menolak atau menyetujui, cinta atau benci, bohong atau jujur. Bahkan, kearifan dan kebodohan semua menjelma melalui mata.
Melalui pandangan mata, kita akan tahu bahwa persahabatan itu demi kepentingan profesional, ataukah demi pamrih. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam kehidupan ini pasti ada pamrih, baik kepada orangtua, anak, istri, mertua, maupun tetangga. Yang membedakan hanyalah kadar kepamrihannya.
Kita sering tak peduli pada tangis orang lain. Banyak orang kaya dan punya kedudukan tinggi, tapi hidupnya selalu dipenuhi kekecewaan. Ia sering sedih tanpa tahu penyebabnya. Mereka sangat merindukan perasaan yang penuh bahagia. Ada pepatah mengatakan, "Semakin kencang mengejar kebahagiaan, membuat kita semakin tidak bahagia karena ternyata sangat sulit menemukan kebahagiaan itu."
Semua itu terjadi karena kita kurang merenung diri dan introspeksi. Hati kita menjadi beku dan tidak lagi peka mendengar suara dan keluhan orang lain. Bila kita tak mampu mendengar suara hati sendiri, bagaimana bisa memahami orang lain? Maka, yang sering muncul kemudian adalah kita menyalahkan orang lain, menyikut, mempermalukan, membodohi, dan menipu orang lain. Kita menjadi manusia yang sangat licik, munafik, naif dan selalu merasa paling benar.
Kesabaran Seorang Resepsionis
Beberapa bulan yang lalu di meja pemesanan kamar hotel, saya melihat suatu kejadian yang sangat mengesankan: betapa sulitnya menjadi resepsionis.
Saat itu sekitar pukul lima sore, petugas resepsionis hotel sibuk mendaftar tamu-tamu baru. Orang di depan saya memberikan namanya kepada pegawai di belakang meja dengan nada memerintah. Laki-laki berwajah sumringah itu pun berkata, "Baik, Bapak, kami sediakan satu kamar singleuntuk Anda.”
“Single?” bentak orang itu, “saya memesan double!”
Pegawai hotel tersebut berkata dengan sopan, “coba saya periksa sebentar.” Ia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip dan berkata, “Maaf, Bapak, telegram Anda menyebutkan single. Saya akan senang sekali menempatkan Anda di kamar double kalau memang ada. Tetapi semua kamar double sudah penuh.”
Tamu yang berang itu berkata, “Saya tidak peduli apa bunyi kertas itu, saya mau kamar double!”
Kemudian ia mulai bersikap 'kamu-tahu-siapa-saya', diikuti dengan “saya akan usahakan agar kamu dipecat. Kamu lihat nanti. Saya akan buat kamu dipecat.”
Di bawah serangan gencar, pegawai muda tersebut menyela, “kami menyesal sekali tidak bisa memenuhi permintaan Bapak, tetapi kami bertindak berdasarkan instruksi Anda.”
Akhirnya, sang tamu yang terbakar amarah itu berkata, “saya tidak akan mau tinggal di kamar yang terbagus di hotel ini sekarang. Manajemennya benar-benar buruk!” Dan ia pun keluar.
Saya menghampiri meja penerimaan sambil berpikir si pegawai pasti masih memasang wajah masam setelah baru saja dimarahi habis-habisan. Sebaliknya, ia menyambut saya dengan salam yang ramah sekali “Selamat malam, Bapak.”
Ketika ia mengerjakan tugas rutin yang biasa dalam mengatur kamar untuk saya, saya berkata kepadanya, “saya mengagumi cara Anda mengendalikan diri tadi. Anda benar-benar sabar.”
“Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu. Anda lihat, ia sebenarnya bukan marah kepada saya. Saya cuma korban pelampiasan kemarahannya. Orang yang malang tadi mungkin baru saja ribut dengan istrinya, atau bisnisnya mungkin sedang lesu, atau barangkali ia merasa rendah diri, dan ini adalah peluang emasnya untuk melampiaskan kekesalannya.”
Pegawai tadi menambahkan, “pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.”
Sambil melangkah menuju lift, saya mengulang-ulang perkataannya, “pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.”
Ingat dua kalimat itu kalau ada orang yang menyatakan perang pada Anda. Jangan membalas. Cara untuk menang dalam situasi seperti ini adalah membiarkan orang tersebut melepaskan amarahnya, dan kemudian lupakan saja.
Air Mata Rasulullah SAW
Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk. "Maafkanlah, ayahku sedang demam", kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.
Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?"
"Tak tahulah ayahku, sepertinya baru sekali ini aku melihatnya," tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bagian demi bagian wajah anaknya itu hendak dikenang.
"Ketahuilah, dia lah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dia lah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dia lah malaikatul maut," kata Rasulullah.
Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut sama menyertainya.
Kemudian dipanggilah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini.
"Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah.
"Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril.
Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. "Engkau tidak senang mendengar kabar ini?" tanya Jibril lagi.
"Kabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?"
"Jangan khawatir, wahai Rasul! Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: "Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik.
Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. "Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini." Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.
"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
"Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku." Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi. Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu. Ali segera mendekatkan telinganya. "Uushiikum bis shalati, wa maa malakat aimanuku (peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu)".
Di luar pintu, tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan.
"Ummatii, ummatii, ummatiii (Umatku, umatku, umatku)."
Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?
Allahumma sholli 'ala Muhammad wa baarik wa salim 'alaihi.