Wikipedia

Search results

Monday, August 02, 2010

Keikhlasan dalam Kekuasaan

Orang bijak pernah berkata bahwa sejatinya kebenaran itu bukan untuk dipelajari, melainkan harus ditemukan. Lalu, di mana kita dapat mencari kebenaran?

"Kebenaran dapat ditemukan di dalam diri kita saat diam," ujar sang bijak. Sebab, dalam diam, kita bisa berbicara dengan hati. Hati merupakan teleskop jiwa, sedangkan mata adalah teleskop dari hati.

Kadang kala kita sering mempertunjukkan kekerdilan diri karena tidak mau diam. Mulut kita terus-menerus berbicara, padahal kita sendiri saja tidak yakin apakah pembicaraan itu benar-benar cerminan keinginan hati. Mulut kita sudah berbuih-buih karena begitu getolnya berbicara, namun isinya hanya bohong belaka.

Sesungguhnya, diam adalah perisai orang bodoh dan pelindung bagi orang bijak. Orang bodoh tidak perlu membuktikan kebodohannya bila dia diam. Dengan berdiam diri serta belajar sabar, persoalan yang begitu pelik akan lebih mudah terpecahkan.

Coba kita simak kisah Nasrudin saat sibuk mencari jarum yang hilang di halaman rumahnya. Berjam-jam dia mencari jarum yang hilang itu sehingga mengundang perhatian seluruh tetangganya. Akhirnya mereka ikut sibuk membantu Nasrudin, tetapi jarum yang dicari tidak ditemukan juga. Seolah olah lenyap ditelan bumi.

Namun, ada salah seorang tetangga yang diam saja sejak tadi. Ia hanya memperhatikan tingkah rekan-rekannya. Lalu ia mendekati Nasrudin dan bertanya, "di mana jarum itu terjatuh?" Nasrudin menjawab, "di dalam rumah."

Ia terkejut. Jarum yang hilang di dalam rumah, kenapa dicari di halaman rumah?

"Ya, kalau saya mencarinya di dalam rumah tidak akan ketemu karena gelap gulita, jadi saya mencarinya di halaman rumah karena terang oleh cahaya matahari."

Kalau kita membaca kisah Nasrudin, kita akan menemukan bahwa seringkali logika Nasrudin terbolak-balik. Namun, sesungguhnya, ada makna lain yang tersirat di dalam cerita. Dari analogi cerita di atas misalnya, bisa diartikan banyak makna. Salah satunya, bahwa sebenarnya kehidupan itu intinya ada di hati. Jika hati 'gelap', sulit menemukan kebenaran. Jadi, kita perlu 'cahaya'. Hanya karena tak memahaminya, maka kita berada dalam kegelapan.

Sebenarnya, setiap gerak, isyarat, bentuk, suara, perkataan, ekspresi, suasana, semuanya menjadi ekspresi sifat dan karakter seseorang. Tanpa harus berbicara saat memandang mata lawan bicara, kita bisa mengartikan apakah dia benar benar ridha atau tidak, menolak atau menyetujui, cinta atau benci, bohong atau jujur. Bahkan, kearifan dan kebodohan semua menjelma melalui mata.

Melalui pandangan mata, kita akan tahu bahwa persahabatan itu demi kepentingan profesional, ataukah demi pamrih. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam kehidupan ini pasti ada pamrih, baik kepada orangtua, anak, istri, mertua, maupun tetangga. Yang membedakan hanyalah kadar kepamrihannya.

Kita sering tak peduli pada tangis orang lain. Banyak orang kaya dan punya kedudukan tinggi, tapi hidupnya selalu dipenuhi kekecewaan. Ia sering sedih tanpa tahu penyebabnya. Mereka sangat merindukan perasaan yang penuh bahagia. Ada pepatah mengatakan, "Semakin kencang mengejar kebahagiaan, membuat kita semakin tidak bahagia karena ternyata sangat sulit menemukan kebahagiaan itu."

Semua itu terjadi karena kita kurang merenung diri dan introspeksi. Hati kita menjadi beku dan tidak lagi peka mendengar suara dan keluhan orang lain. Bila kita tak mampu mendengar suara hati sendiri, bagaimana bisa memahami orang lain? Maka, yang sering muncul kemudian adalah kita menyalahkan orang lain, menyikut, mempermalukan, membodohi, dan menipu orang lain. Kita menjadi manusia yang sangat licik, munafik, naif dan selalu merasa paling benar.

No comments: