Wikipedia

Search results

Wednesday, August 10, 2011

n u a n s a bening

oh tiada yang hebat dan mempesona
ketika kau lewat di hadapanku biasa saja

waktu perkenalan terjalin sudah
ada yang menarik pancaran diri terus mengganggu

mendengar cerita sehari-hari
yang wajar tapi tetap mengasyikkan

oh tiada kejutan pesona diri
pertama kujabat jemari tanganmu biasa saja

masa perkenalan lewatlah sudah
ada yang menarik bayang-bayangmu tak mau pergi

dirimu nuansa-nuansa ilham
hamparan laut tiada bertepi

kini terasa sungguh
semakin engkau jauh
semakin terasa dekat

akan tumbuh kembangkan
kasih yang kau tanam di dalam hatiku

menatap nuansa-nuansa bening
jelasnya doa bercita

Perjuangan untuk Bergembira

Apa saja butuh diperjuangkan termasuk kegembiraan. Di rumah, saya tak henti-hentinya mengampanyekan perjuangan ini, karena keluarga adalah tulang punggung semua urusan. Kegembiraan adalah sebuah mata rantai, yang ketika satu saja terputus, semua akan berantakan. Di kantor, Anda boleh sedang meledak oleh kegembiraan karena baru saja naik jabatan. Tetapi apa jadinya jika anak Anda harus masuk rumah sakit secara bersamaan.

Apa jadinya jika anak itu bukannya sakit, tapi malah minggat oleh sebuah kenakalan. Ketimbang kumpul bersama keluarga, ia memilih kabur bersama geng motornya karena sebuah alasan. Jika ini terjadi, seluruh kenaikan karier di kantor hanya akan Anda kutuki. Musibah yang datang tepat di hari keberutungan, pasti soal yang amat menjengkelkan.

Banyak sekali pemutus kegembiraan itu, mulai dari soal-soal besar yang tak terhindarkan sampai soal-soal kecil hasil sebuah kekonyolan. Piknik keluarga yang dibayangkan akan penuh tawa dan kegembiraan bisa berubah menjadi ajang pertengkaran cuma karena satu dua barang ketinggalan.

Semua faktor pemutus itu mengintip dan mengepung di sekitar kita. Ia membutuhkan kewaspadaan penuh untuk menangkalnya. Dan sikap waspada itu harus menjadi komitmen bersama, karena satu saja anggota keluarga teledor, seluruh bangunan akan runtuh kembali dan menyisakan cuma pondasinya.

Misalnya begini: saya punya kebiasaan mengajak seluruh keluarga untuk memberi kontribusi kegembiraan di pagi hari dengan cara membuang muka cemberut. Kalau perlu usahakan tertawa dan bernyanyi. Berat, tetapi semua harus berusaha, tak terkeculai saya. Jika tubuh lemas karena kesadaran belum sempurna usahakan untuk segera mengusirnya.

Caranya dengan bergerak secepat dan sesering mungkin, jingkrak-jingkrak kalau perlu. Tak peduli di kepala mulai penuh dengan beban harian: yang bapak beban pekerjaan, yang ibu beban rumah tangga, yang anak beban sekolahan, tak boleh membuat kita menjadi egois. Semua orang punya beban, maka orang tak boleh memindah beban sendiri ke pihak lain sebagai beban tambahan mereka.

Maka jika semua orang sudah mencoba bergembira kok masih ada satu anggota keluarga yang cemberut, misalnya hanya karena belum mengerjalan PR atau HP-nya nyelip entah ke mana, kami anggap ia gagal komitmen. Ia tidak menghargai azas gotong royong pihak lain yang telah bersusah payah membuat pagi agar terasa lebih indah.

Sungguh, kindahan pagi itu tidak akan datang sebagai hadiah. Tak peduli udara pagi selalu lebih segar, tak peduli apakah di pagi hari burung-burung selalu beryanyi tetapi bagi hati yang sumpek, semuanya tak punya arti. Alam memang memberikan banyak setiap kali, tetapi percuma saja jika kita tidak punya tempat untuk menerima.

Apa yang sedang saya upayakan itu adalah mengajak siapa saja untuk lebih punya kesiapan menerima. Kegembiraan adalah sejenis udara bebas yang harus kita tangkap dengan memertinggi daya dan pemancar penerima. Dan pemancar itu, tidak bisa dibangun sendiri, tapi harus bersama-sama.

Thursday, August 04, 2011

Antara Cinta dan Kesulitan

Antara cinta dan kesulitan terdapat satu kesamaan, yakni agar orang lain mengerti, ia butuh ditunjukkan, tak terkecuali pada anak-anak sendiri. Kejadian yang menimpa istri saya ini salah satu buktinya.

Saya tahu hari itu benaknya berat oleh serangkaian persoalan. Persoalan itu saya tau tak cuma berhenti di pikirannya tapi juga telah melesak ke batinnya. Ia mengaku perutnya seharian mual dan ia menduga sendiri sebabnya. "Mungkin karena aku banyak pikiran," katanya yang segera saya iyakan. Saya tak perlu ragu untuk menyetujui apa yang ia rasakan karena persoalannya adalah juga persoalan yang sedang saya rasakan.

Tepat di saat penuh persoalan itulah anak-anak kami meminta sesuatu dan ketika permintaannya ditolak mereka bereaksi secara keliru. Anak yang kecewa itu menganggap orang tuanya cuma bisa menolak dan amat jarang membahagiakan mereka dengan cara mengabulkan segera permintaannya. Sementara istri tampak terpukul oleh sikap anak-anak yang dianggap tidak tanggap keadaan, anak-anak juga mengurung diri karena merasa hatinya melulu dibuat kecewa.

Di mana posisi saya? Mestinya saya berada di pihak istri. Karena inilah aturannya: anak meminta, istri mengabulkan tapi sayalah yang mencari uangnya. Jadi persoalan istri, persoalan saya juga. Kalau istri kekurangan uang, karena uang yang saya setorkan kepadanya memang sedang tak ada. Maka ketika dalam keadaan tak ada, anak-anak merengek sesuka hatinya, pasti hanya akan membuat kami kecewa. Hampir saja saya bergabung dengan istri untuk marah secara bersama-sama. Untung saya membatalkan niat ini dan memilih berpikir sejenak dari sudut pandang mereka. Saya cukup membayangkan masa kanak-kanak saya sendiri dahulu kala.

Saat itu soal yang paling saya tahu adalah meminta. Bukan memahami keadan orang tua. Tak peduli separah itu kemiskinan keluarga, tak henti-henti saya merengek dan meminta.Jadi begitulah juga anak-anak saya kini. Kesimpulaan saya jelas: saya sedang berhadapan dengan pihak yang sedang tidak tahu. Maka tugas saya mudah saja sebetulnya: tinggal memberi tahu. Saya segera meminta anak-anak berkumpul lengkap dengan ibunya. Saya bercerita tentang persoalan istri yang anak-anak harus mendengarnya. Dimulai dari berapa gaji bapaknya sebagai wartawan.

Setelah paham jumlahnya, anak-anak saya ajak melihat seluruh kebutuhan keluarga lengkap dengan ruang lingkupnya, dimulai dari kebutuhan mereka sendiri.Hasilnya, mereka sama-sama melihat kenyatan ajaib: bahwa SPP, buku, nonton, seragam, uang saku, uang mainan, uang jajan, renang, makan di luar, selama sebulan sudah menelan hampir seluruh gaji bapaknya. Jadi dengan cepat mereka tahu, bahwa orang tuanya bukan orang kaya.

Jika selama ini kehidupan mereka berjalan baik-baik saja, karena orang tuanya harus berakrobat sedemikian rupa. Dan biar lebih dramatik, saya beberkan seluruh kebutuhan keluarga lengkap setiap bulannya: listrik, ledeng, telepon, pulsa, belanja harian, baju, buku, sepatu, iuran ini, iuran itu, sumbangan ini, sumbangan itu, bantuan untuk saudara ini, bantuan untuk saudara itu, bayar asuransi, gaji pembantu, gaji pak sopir, ... panjang sekali daftar itu, saya buat perinciannya, saya jumlahkan, saya bandingkan lagi dengan gaji resmi dan saya sodorkan kekurangannya untuk saya meminta pendapat mereka dengan cara apa kekurangan itu harus diperoleh.

Hasilnya lumayan. Anak-anak itu menunduk dan akal sehat mereka mulai bekerja betapa tanpa kerja keras, begitu gawat keadaan orang tuanya. "Kalian meminta, tepat ketika ibumu sedang memecahkan seluruh kesulitan keluarga," tambah saya. Anak-anak makin menunduk. Dan hasil akhirnya, si kecil menyerahkan buku tabungannya untuk dihibahkan, si sulung menguras isi dompetnya untuk diserahklan kepada Ibu mereka. Kini ganti istri saya yang menunduk kehilangan kata-kata.

Begitulah watak cinta dan kesulitan. Tak perlu banyak diperdebatkan, lempar saja datanya, dan biar pihak lain yang mengurai dengan akal sehatnya, termasuk anak-anak kita.

Senyum Orang Gila

Saya suka melewati jalan itu. Salah satu daya tariknya adalah karena di situ mangkal orang gila yang selalu tersenyum. Kesan pertama saya ialah, betapa senyum itu selalu memberi kesejukan bagi penontonnya, tak peduli apakah ia datang dari orang gila. Kedua, betapa senyum selalu mencerahkan wajah pelakunya.

Meskipun orang itu jelas-jelas telah divonis sebagai gila, tetapi karena selalu tersenyum, ada gambaran damai di wajahnya. Ketiga, inilah yang menurut saya utama: saya yang merasa waras saja, jarang tersenyum sebanyak itu dan semurni itu. Baik secara kuantitas maupun secara kualitas, senyum saya jelas bukan tandingannya.

Ada memang banya senyum kuantitatif di wajah saya. Tetapi itu pun jumlahnya tak seberapa. Yang tak seberapapun, itu berisi senyum-senyum yang terpaksa. Terpaksa sok sabar, sok baik dan sok ramah. Keadaan sok ini membuat diam-diam batin saya malah terancam lelah. Bibir saya tersenyum tetapi hati saya melayang entah ke mana.

Senyum itu, sejatinya nyaris lahir dari ruang hampa. Jadi, senyum kuantitatif ini cepat sekali menghilang dari wajah saya. Secepat itu datangnya, secepat itu pula perginya tanpa meninggalkan jejak apa-apa. Sungguh berbeda dari senyum orang gila yang seperti menetap selalu di bibirnya.

Selebihnya, wajah ini kembali tertarik untuk melayani soal-soal yang membuat bibir cemberut dan wajah berkerut. Pagi hari, cukup hanya dengan membaca koran pagi, kening ini sudah mulai mengernyit. Ada artis yang berdandan sebagai wanita solehah cuma gara-gara hendak mencalonkan diri sebagai petinggi dan ketika kalah cuma kembali pada dandanannya yang asli.

Atau setiap hari ada saja dikabarkan orang mati karena menenggak oplosan, sebuah kematian yang pasti tidak membanggakan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dan intensitas ketegangan di wajah ini bisa ditingkatkan jika kita mau menonton televisi. Semua acara lengkap di dalamnya, mulai dari yang mengundang kejengkelan hingga kemarahan.

Jika senyum kuantitatif saja tak seberapa jumlahnya, lebih langka lagi pasti jumlah senyum kualitatif di wajah saya. Ia hanya datang kadang-kadang saja. Tergantung apakah hari sedang cerah. Tetapi jika rezeki sedang seret, tanggal tua, kebutuhan menumpuk, kok datang seseorang hanya untuk minta sumbangan, bisa mengepul uap di kepala saya. Tetapi itupun sudah sebab yang serius. Padahal untuk kesal, saya ini tak butuh penyulut yang serius.

Hanya karena waktu sudah mendesak, dan itupun karena kesalahan saya sendiri, istri yang bergerak terlalu lambat, anak-anak yang masih sibuk dengan ini-itunya, sudah menyulut kemarahan saya. Padahal jika pun saya benar-benar telambat, dunia ini masih baik-baik saja.

Saya tidak akan dipecat dari pekerjaan apalagi keterlambatan ini tidak ada hubungannya dengan pecat-memecat. Keadaan ini hanya karena dorongan instink saya agar segera bisa sampai ke tujuan.

Jadi sikap buru-buru itu, lebih banyak tidak disebabkan oleh waktu, tetapi oleh perasaan saya sendiri. Rasa buru-buru itu memang seperti menetap di dalam sini. Ada banyak sekali persolaan hidup, termasuk di dalamnya adalah soal yang remeh-temeh cukuplah untuk mengusir senyum dari wajah saya. Maka setiap melewati jalan, di tempat orang gila itu mangkal, saya seperti menemukan kembali senyum saya yang hilang.

Menggembosi Amarah

Sebelum listrik tiba, penerangan di rumah kami adalah jenis lampu teplok. Di lain tempat, beda lagi namanya. Tapi apapun sebutannya, inilah lampu dengan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, dengan tabung kaca sebagai penutup nyala yang jamak digunakan sebelum listrik masuk desa. Di antara era teplok dan listrik, sempat pula hadir zaman lampu pompa.

Lebih terang nyalanya, tetapi lebih rakus minyak, kerenanya lampu ini terbiasa menyala cuma di rumah-rumah orang berpunya. Tetapi tetangga paling kaya sekalipun tidak pernah menyalakan lampu ini semalaman melainkan cukup hingga hingga menjelang tengah malam saja. Jika lampu ini mati, lampu teplok itu pula yang kembali mengambil peran. Dialah yang bertugas menyaa semalam suntuk. Jika jam tidur sudah tiba, ia dinyalakan, sambil sumbunya dikecilkan. Bagi penggemar tidur di kegelapan, si teplok ini tidak harus dimatikan, tetapi di kacanya cukup diselipkan kertas penghalang. Ia masih terlihat terang, tetapi tidak cukup menyilaukan.

Jadi ada tiga tahapan terang pada diri lampu teplok ini. Membesarkan, mengecilkan dan memberinya penghalang. Kegiatan membesarkan dan mengecilkan itulah yang saya kenang. Malam ketika listrik belum menyala adalah malam yang begitu gelapnya. Tetapi kegelapan yang pekat itu, adalah sekaligus pekat yang ramah pada cahaya.

Karena gelapnya, bahkan cahaya kunang-kunang di kejauhan pun terlihat begitu terang. Malah untuk mengerti siapa yang berjalan nun di kejauhan, cukup dilihat dari nyala rokok yang dihisap seseorang. Jika nyala rokok itu berkelebat cepat (dan itu jelas sekali di gelap malam), oo, itu pasti Kang Tukiman, karena memang serba cepat itulah gayanya berjalan. Karenanya, di tenga malam yang gelap dan sepi, nyala lampu teplok pun telah terlihat sangat benderang.

Entah kenapa kegiatan membesarkan, mengecilkan dan memberi penghalang lampu ini di masa lalu, masih lengket hingga sekarang. Bukan cuma lengket, tetapi malah melebar ke lain jurusn, yakni terhubung dengan kemarahan. Terutama kemarahan-kemarahan hidup saya yang ternyata, besar kecilnya, tergantung apakah ia dibesarkan atau dikecilkan.

Pernah sekali istri memasak sayur kurang garam, saya lalu membesar dalam kemarahan. Argumentasi saya: sudah sekian kali saya meminta, tetapi garam itu tetap kurang juga. Ini sungguh rasa abai yang luar biasa. Perasaan diabaikan dan diremehkan itulah yang saya bayangkan, dan ia bisa saya ternak sedemikian rupa. Padahal cukup hanya dengan sayur kurang garam, saya memiliki alasan untuk bertengkar dengan istri habis-habisan.

Tetapi teknologi lampu teplok ini mengingatkan saya, bahwa api di dalamnya bisa dibesarkan bisa dikecilkan. Begitu juga dengan api kemarahan. Karena seluruh alasan saya untuk marah itu, akan selesai cukup dengan obat sederhana yakni, cuma kurang garam, apa susahnya ditambahkan. Jadi semua soal-soal yang tampaknya serba besar itu akan mengecil dengan sendirinya cukup ketika di hadapannya ditambahkan kata ‘’cuma’’. Kini, meskipun listrik sudah menyala siang malam, saya ingin menyimpan sebuah lampu teplok di rumah saya sebagai kenangan.