Wikipedia

Search results

Thursday, August 04, 2011

Antara Cinta dan Kesulitan

Antara cinta dan kesulitan terdapat satu kesamaan, yakni agar orang lain mengerti, ia butuh ditunjukkan, tak terkecuali pada anak-anak sendiri. Kejadian yang menimpa istri saya ini salah satu buktinya.

Saya tahu hari itu benaknya berat oleh serangkaian persoalan. Persoalan itu saya tau tak cuma berhenti di pikirannya tapi juga telah melesak ke batinnya. Ia mengaku perutnya seharian mual dan ia menduga sendiri sebabnya. "Mungkin karena aku banyak pikiran," katanya yang segera saya iyakan. Saya tak perlu ragu untuk menyetujui apa yang ia rasakan karena persoalannya adalah juga persoalan yang sedang saya rasakan.

Tepat di saat penuh persoalan itulah anak-anak kami meminta sesuatu dan ketika permintaannya ditolak mereka bereaksi secara keliru. Anak yang kecewa itu menganggap orang tuanya cuma bisa menolak dan amat jarang membahagiakan mereka dengan cara mengabulkan segera permintaannya. Sementara istri tampak terpukul oleh sikap anak-anak yang dianggap tidak tanggap keadaan, anak-anak juga mengurung diri karena merasa hatinya melulu dibuat kecewa.

Di mana posisi saya? Mestinya saya berada di pihak istri. Karena inilah aturannya: anak meminta, istri mengabulkan tapi sayalah yang mencari uangnya. Jadi persoalan istri, persoalan saya juga. Kalau istri kekurangan uang, karena uang yang saya setorkan kepadanya memang sedang tak ada. Maka ketika dalam keadaan tak ada, anak-anak merengek sesuka hatinya, pasti hanya akan membuat kami kecewa. Hampir saja saya bergabung dengan istri untuk marah secara bersama-sama. Untung saya membatalkan niat ini dan memilih berpikir sejenak dari sudut pandang mereka. Saya cukup membayangkan masa kanak-kanak saya sendiri dahulu kala.

Saat itu soal yang paling saya tahu adalah meminta. Bukan memahami keadan orang tua. Tak peduli separah itu kemiskinan keluarga, tak henti-henti saya merengek dan meminta.Jadi begitulah juga anak-anak saya kini. Kesimpulaan saya jelas: saya sedang berhadapan dengan pihak yang sedang tidak tahu. Maka tugas saya mudah saja sebetulnya: tinggal memberi tahu. Saya segera meminta anak-anak berkumpul lengkap dengan ibunya. Saya bercerita tentang persoalan istri yang anak-anak harus mendengarnya. Dimulai dari berapa gaji bapaknya sebagai wartawan.

Setelah paham jumlahnya, anak-anak saya ajak melihat seluruh kebutuhan keluarga lengkap dengan ruang lingkupnya, dimulai dari kebutuhan mereka sendiri.Hasilnya, mereka sama-sama melihat kenyatan ajaib: bahwa SPP, buku, nonton, seragam, uang saku, uang mainan, uang jajan, renang, makan di luar, selama sebulan sudah menelan hampir seluruh gaji bapaknya. Jadi dengan cepat mereka tahu, bahwa orang tuanya bukan orang kaya.

Jika selama ini kehidupan mereka berjalan baik-baik saja, karena orang tuanya harus berakrobat sedemikian rupa. Dan biar lebih dramatik, saya beberkan seluruh kebutuhan keluarga lengkap setiap bulannya: listrik, ledeng, telepon, pulsa, belanja harian, baju, buku, sepatu, iuran ini, iuran itu, sumbangan ini, sumbangan itu, bantuan untuk saudara ini, bantuan untuk saudara itu, bayar asuransi, gaji pembantu, gaji pak sopir, ... panjang sekali daftar itu, saya buat perinciannya, saya jumlahkan, saya bandingkan lagi dengan gaji resmi dan saya sodorkan kekurangannya untuk saya meminta pendapat mereka dengan cara apa kekurangan itu harus diperoleh.

Hasilnya lumayan. Anak-anak itu menunduk dan akal sehat mereka mulai bekerja betapa tanpa kerja keras, begitu gawat keadaan orang tuanya. "Kalian meminta, tepat ketika ibumu sedang memecahkan seluruh kesulitan keluarga," tambah saya. Anak-anak makin menunduk. Dan hasil akhirnya, si kecil menyerahkan buku tabungannya untuk dihibahkan, si sulung menguras isi dompetnya untuk diserahklan kepada Ibu mereka. Kini ganti istri saya yang menunduk kehilangan kata-kata.

Begitulah watak cinta dan kesulitan. Tak perlu banyak diperdebatkan, lempar saja datanya, dan biar pihak lain yang mengurai dengan akal sehatnya, termasuk anak-anak kita.

No comments: