Wikipedia

Search results

Thursday, August 04, 2011

Senyum Orang Gila

Saya suka melewati jalan itu. Salah satu daya tariknya adalah karena di situ mangkal orang gila yang selalu tersenyum. Kesan pertama saya ialah, betapa senyum itu selalu memberi kesejukan bagi penontonnya, tak peduli apakah ia datang dari orang gila. Kedua, betapa senyum selalu mencerahkan wajah pelakunya.

Meskipun orang itu jelas-jelas telah divonis sebagai gila, tetapi karena selalu tersenyum, ada gambaran damai di wajahnya. Ketiga, inilah yang menurut saya utama: saya yang merasa waras saja, jarang tersenyum sebanyak itu dan semurni itu. Baik secara kuantitas maupun secara kualitas, senyum saya jelas bukan tandingannya.

Ada memang banya senyum kuantitatif di wajah saya. Tetapi itu pun jumlahnya tak seberapa. Yang tak seberapapun, itu berisi senyum-senyum yang terpaksa. Terpaksa sok sabar, sok baik dan sok ramah. Keadaan sok ini membuat diam-diam batin saya malah terancam lelah. Bibir saya tersenyum tetapi hati saya melayang entah ke mana.

Senyum itu, sejatinya nyaris lahir dari ruang hampa. Jadi, senyum kuantitatif ini cepat sekali menghilang dari wajah saya. Secepat itu datangnya, secepat itu pula perginya tanpa meninggalkan jejak apa-apa. Sungguh berbeda dari senyum orang gila yang seperti menetap selalu di bibirnya.

Selebihnya, wajah ini kembali tertarik untuk melayani soal-soal yang membuat bibir cemberut dan wajah berkerut. Pagi hari, cukup hanya dengan membaca koran pagi, kening ini sudah mulai mengernyit. Ada artis yang berdandan sebagai wanita solehah cuma gara-gara hendak mencalonkan diri sebagai petinggi dan ketika kalah cuma kembali pada dandanannya yang asli.

Atau setiap hari ada saja dikabarkan orang mati karena menenggak oplosan, sebuah kematian yang pasti tidak membanggakan bagi keluarga yang ditinggalkan. Dan intensitas ketegangan di wajah ini bisa ditingkatkan jika kita mau menonton televisi. Semua acara lengkap di dalamnya, mulai dari yang mengundang kejengkelan hingga kemarahan.

Jika senyum kuantitatif saja tak seberapa jumlahnya, lebih langka lagi pasti jumlah senyum kualitatif di wajah saya. Ia hanya datang kadang-kadang saja. Tergantung apakah hari sedang cerah. Tetapi jika rezeki sedang seret, tanggal tua, kebutuhan menumpuk, kok datang seseorang hanya untuk minta sumbangan, bisa mengepul uap di kepala saya. Tetapi itupun sudah sebab yang serius. Padahal untuk kesal, saya ini tak butuh penyulut yang serius.

Hanya karena waktu sudah mendesak, dan itupun karena kesalahan saya sendiri, istri yang bergerak terlalu lambat, anak-anak yang masih sibuk dengan ini-itunya, sudah menyulut kemarahan saya. Padahal jika pun saya benar-benar telambat, dunia ini masih baik-baik saja.

Saya tidak akan dipecat dari pekerjaan apalagi keterlambatan ini tidak ada hubungannya dengan pecat-memecat. Keadaan ini hanya karena dorongan instink saya agar segera bisa sampai ke tujuan.

Jadi sikap buru-buru itu, lebih banyak tidak disebabkan oleh waktu, tetapi oleh perasaan saya sendiri. Rasa buru-buru itu memang seperti menetap di dalam sini. Ada banyak sekali persolaan hidup, termasuk di dalamnya adalah soal yang remeh-temeh cukuplah untuk mengusir senyum dari wajah saya. Maka setiap melewati jalan, di tempat orang gila itu mangkal, saya seperti menemukan kembali senyum saya yang hilang.

No comments: